Wednesday, November 2, 2016

Published 12:32 AM by with 0 comment

Mendidik Ala Nabi



"Peran kaum guru dalam perubahan, seperti keberadaan nabi-nabi tanpa senjata." – Niccolo Machiavelli, Filosof Italia, 1456-1527.

SAAT ini masyarakat semakin memberhalakan harta dan jabatan, hidup dengan kepentingan-kepentingan individual tanpa peduli sesama. Kekerasan berlabel SARA sudah tak terhitung jumlahnya. Lalu apa solusinya? Menurut para filosof, "pendidikanlah" senjata paling ampuh untuk menepis serangan radikalisme, hedonisme, dan eksklusivisme semacam itu.
Pendidikan sebagai sarana humanisasi diharapakan mampu melahirkan wakil-wakil (khalifah) Tuhan untuk mengatur alam semesta dan peradabannya. Tentu peradaban yang selalu memihak pada kebenaran, keadilan, melawan kebatilan, kesenjangan, kebodohan, dan keserakahan (korupsi), serta menghapus hukum rimba, seperti yang dikatakan Thomas Hobbes (1588- 1679), manusia adalah pemangsa manusia lainnya, "homo homini lupus". Kemudian diganti dengan "homo homini socius", manusia adalah adalah sahabat bagi sesama.
Kehadiran kaum guru, sejatinya seperti diutusnya para pahlawan ke muka bumi. Sebagai penyelamat dari belenggu yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan di atas. Lalu, apa saja tugas guru dalam menyelamatkan (salvation) manusia dari kehancuran dan kebinasaan?
Peran Strategis
Pertama, guru yang baik akan selalu menjadi pelita (rahmat) bagi alam semesta. "Dan tidaklah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam." (QS 21:107).
Rahmat artinya kelembutan yang berpadu dengan rasa iba. Atau dengan kata lain rahmat dapat diartikan dengan kasih sayang. Jadi, guru harus mendidik murid-muridnya dengan kasih sayang. Sebagaimana Tuhan mengutus para nabi kepada seluruh manusia sebagai bentuk kasih sayang-Nya yang terbesar.
Pendidikan harus dilakukan dengan proses lemah lembut dan kasih sayang. Ketika murid telah mencintai gurunya, maka proses komunikasi akan berjalan dengan baik dan harmonis. Apabila kenyamanan berkomunikasi sudah terjalin, maka transmisi pengetahuan dan nilai serta internalisasi karakter pun mudah melekat pada jiwa anak.
Mendidik anak dengan cinta tidaklah mudah. Diperlukan kesabaran dan ketelatenan yang tinggi. Namun, bukan berarti dengan kesulitan itu lantas guru seenaknya saja. Diperlukan strategi khusus untuk melakukan itu. Misalnya, dengan melihat kemampuan dan potensi siswanya dengan baik, fleksibel, dan tidak terlalu protektif kepada anak. Pun pembelajaran yang dilakukan harus rileks dan menyenangkan (joyful study).
E Handayani Tyas (2013) mengatakan, guru diharapkan dapat menjadi pendidik yang memenuhi tiga kunci, yakni dasar pendidikannya adalah kasih sayang, syarat teknisnya adalah saling percaya, dan syarat mutlaknya adalah kewibawaan.
Pendidikan yang dilakukan dengan kasih sayang akan melahirkan pengasih-pengasih selanjutnya, generasi yang peka dengan keadaan sosial, demokratis, inklusif, toleran, penuh persaudaraan dan perdamaian. Bukan generasi angkuh, egois, dan radikal.
Kedua, guru memberikan petunjuk ke jalan yang benar. "Sesungguhnya Kami mengutus kamu dengan membawa kebenaran sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan. Dan tidak ada suatu umat pun melainkan telah ada padanya seorang pemberi peringatan." (QS 35:24).
Salah satu tugas guru adalah sebagai mursyid, yakni pembimbing ke arah kebaikan, penuntun ke jalan hidup yang benar. Syarat untuk menjadi guru yang mursyid adalah harus memiliki wawasan luas tentang berbagai disiplin ilmu, memiliki kejernihan hati, sikap kesederhanaan dan ikhlas.
Mursyid dalam ilmu tasawuf biasanya disematkan kepada guru sufi, yaitu orang yang ahli memberi petunjuk dalam bidang kebatinan. Para mursyid dianggap golongan pewaris para nabi dalam bidang penyucian jiwa (tazkiyah an-nafs).
Dengan peran mursyidnya, guru diharapkan mampu mencetak manusia yang memiliki hati, sifat, ucapan, dan perilaku yang bersih dan suci. Bersih dari kedengkian, ketamakan harta, pemujaan jabatan, dan korupsi.
Ketiga, guru memberi peringatan kepada murid-murid dan masyarakat. "Dan tidaklah Kami mengutus para rasul itu melainkan untuk memberi kabar gembira dan memberi peringatan. Barang siapa yang beriman dan mengadakan perbaikan, maka tak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati." (QS 6:48)
Guru adalah kaum intelektual yang membantu murid-muridnya untuk mencapai tujuan pendidikan dan kebenaran sejati. Namun perlu diingat, guru juga manusia biasa, bukan malaikat. Seperti nabi yang hanya sebagai penyampai pesan dan pemberi peringatan bagi kaumnya.
Proses belajar-mengajar harus dilakukan tanpa unsur paksaan. Memaksakan kehendak anak didik dalam belajar tak akan memberi bekas sedikit pun bagi perkembangannya. Seperti dakwah para nabi kepada umatnya yang dilakukan dengan pendekatan persuasif tanpa paksaan, apalagi kekerasan. Dakwah pada hakikatnya meyakinkan manusia agar selalu berjalan dalam koridor kebenaran. Dakwah bukan mencerca, mengejek, mengancam, atau bahkan meneror.
Keempat, guru menjadi teladan yang baik. "Sesungguhnya aku diutus semata-mata untuk menyempurnakan akhlak." (HR Ahmad). Salah satu faktor penting keberhasilan para Nabi dalam mendidik dan membimbing umatnya, sebelum berdakwah mereka telah menjadi living model (teladan). Mereka adalah orang-orang pertama yang melaksanakan perintah Tuhan dan menjauhi larangan-Nya. Dengan itu umat pun mudah mengamalkan dan meniru ajarannya.
Sesuatu yang akan membingungkan murid bila ucapan guru dan perilakunya berbeda. Murid-murid tak tahu siapa yang harus dicontoh, dan apa arti dari keluhuran budi dan kemuliaan akhlak. (Syafi’i Antonio, 2009: 195).
Akhir kata, guru sebagai pahlawan dan pewaris para Nabi memiliki peran besar dalam pencerdasan, pencerahan, dan penyelamat bangsa dari keterpurukan moral manusia yang gila harta, pemuja jabatan, wanita, dan korupsi. Wallahu A’lam Bishawab! -Edi Sugianto-



      edit

0 comments:

Post a Comment