Tuesday, November 1, 2016

Published 10:26 PM by with 0 comment

Langit Kembali Cerah



           Bulan Januari, Jakarta diguyur hujan. Langit tampak kelabu akibat mendung tiap hari. Di kamar Devina tampak muram menatap langit di luar jendela. Beberapa kali lidah petir menyambar udara dan suara guruh yang berdentam tak membuyarkan lamunannya. Pikirannya menerawang tentang peristiwa di sekolah pagi tadi. Geng Andini dan pengikutnya memojokkan dirinya dengan kata-kata yang sangat menyakitkan. Sedih, bingung, dan membuat dirinya resah. Di sudut hatinya ada rasa takut dengan kata-kata Andini. Ia tetap tak habis pikir apa sebabnya geng Andini begitu membencinya. Apa salah dirinya pada mereka? Lamunannya terhenti ketika Si Bibik pembantunya berkali-kali mengetuk pintu kamarnya yang terletak di lantai dua tersebut. “ Neng Vina, dipanggil Mamanya. Buka pintunya, Neng.”
            Pagi yang muram digelantungi mendung, Devina diantar papanya menuju ke sekolah. Di sinilah malapetaka itu dimulai. Tak ada yang mengira kalau geng Andini menunggu Devina di pojok koridor tangga. Ibarat singa lapar yang langsung menyergap mangsanya, Devina langsung disudutkan. Tanpa memberi kesempatan sedikit pun bertanya dan menarik napas, Devina diserang dengan kata-kata kasar dan menyakitkan. Ia hanya terpaku, diam dan mulutnya terkunci rapat.Kelu.
         “Eh, elo anak Sidoarjo, lo di sini jangan sok cantik, ya! Tiba-tiba Andini dan geng-nya mencegat langkahnya di koridor lantai tiga sekolah. Beberapa siswa putri yang mendengar  ucapan Andini cepat-cepat menjauh, takut bersinggungan dengan kelompok Andini, bikin repot dan susah hidup kata mereka. Belum sempat Devina menjawab karena shock  mendengar ucapan itu, Andini kembali membombardir dengan ucapan yang membuat nyalinya jadi ciut.
         “Lo, pikir ,lo paling cantik, ya di sekolah ini, hah? Anak kampung aja, pake belagu lagi.Betul,nggak teman-teman?” Udah, balik aja lo ke kampung, dasar ndeso,huh...!
            “Yo’i, tul...! teriak teman-teman geng Andini yang bikin takut anak-anak putri yang lain di sekolah Muhammadiyah 31. Geng Andini  sangat dihindari oleh anak putri. Mereka tak ingin cari masalah dengan kelompok itu. Urusannya bisa panjang dan bikin nyali jadi menciut.Ayah dan ibunya menurut informasi super sibuk dengan kariernya. Andini berangkat dan pulang pakai mobil dan sopir pribadi sendiri yang disiapkan orang tuanya. Luar biasa!
            “Awas, lo ya, berani lapor ke Wali Kelas, gue abisin, lo! gertak Andini sambil ngeloyor pergi bersama  geng-nya menuju ke tangga lantai dua.Suasana sekolah mulai agak ramai. Seorang ibu guru melintas di hadapan Devina, tampak sedikit bingung melihat Devina diam di pojok tembok koridor seperti manekin toko busana.
            Pelan-pelan Devina berjalan menuju kelas. Pikirannya benar-benar kacau karena perasaannya sangat tertekan, apalagi mendengar ancaman yang diucapkan Andini, membuat semangatnya terbang seolah-olah badannya  ikut melayang dan jatuh membentur karang dan hancur. Lidahnya merasa kelu untuk menjawab kata-kata Andini. Situasi yang tak pernah ia bayangkan ketika geng  Andini memojokkannya di sudut tembok koridor dan dikerubuti seperti belalang mati yang disergap beberapa semut rang-rang.Tanpa sadar ia hanya bisa menatap wajah Andini, pucat, seolah-olah jalan darahnya berhenti dan jantungnya terbang entah ke mana. Sesampainya di tempat duduk, Devina menelungkupkan wajahnya di meja. Ia ingin menangis dan berteriak dengan kata tanya. “Apa salahku, ya Allah? Mereka seenaknya berkata kasar dan sangat menyakitkan. Aku tidak pernah merasa cantik, apalagi paling cantik, ya Allah. Tapi, mereka begitu membenciku.”  Beberapa tetes air mata akhirnya keluar juga dari matanya yang indah.Ia menangis tanpa suara. Pagi ini, ia benar-benar terasa sangat kelabu. Entah mimpi apa semalam, ia mendapat semprotan lahar panas Andini yang sangat mengusik nuraninya. Untunglah Resty teman barunya yang cepat akrab, menghiburnya untuk tetap tenang dan sedapat mungkin menjaga jarak dengan geng Andini.
            Sebenarnya ia berharap, papanya tetap bertugas di Sidoarjo, meskipun kota kecil tak sebesar dan sehebat Jakarta, ia merasa senang dan ceria di kampung halaman orang tuanya itu. Teman sejak kecil dan sepermainan banyak. Famili papa dan mamanya selalu memanjakan dirinya. Mereka senang sekali jika dikunjungi oleh dirinya. Tapi papanya mendapat tugas yang  lebih tinggi dari instansinya dan harus bertugas di Ibu Kota Jakarta. Prestasi kerja papanya kata mamanya terus meningkat dan terpaksa harus pindah ke Jakarta. Sang papa harus menjabat orang nomor satu di keimigrasian. Sebelum pindah ke Jakarta, papanya selama setahun menjabat orang nomor satu di kantor Imigrasi Kota Surabaya. Seminggu sekali masih bisa pulang ke Sidoarjo. Tapi, di Jakarta, takkan mungkin bisa pulang seminggu sekali ke Sidoarjo. Itu sebabnya keluarganya boyongan pindah ke Jakarta.Wajah manis dan cantiknya, di Jakarta, justru malah membuat masalah. Semua tentu di luar dugaannya.
            Tiga hari setelah peristiwa itu,setelah pelajaran jam keempat selesai, Pak Heri wali kelasnya memanggilnya ke ruang BP. Devina agak bingung karena wajah Pak Heri tampak serius. Setelah disuruh duduk, Pak Heri tampak membuka catatan, lalu menatap agak lama catatannya.
            “Kamu berasal dari Sidoarjo, ya? Tanya Pak Heri tiba-tiba.
            “Ya,Pak.” Jawabnya pendek sambil menebak-nebak kemana sebenarnya arah pertanyaan Pak Heri.
            “Ayah dan ibumu asli dari sana?” selidik Pak Heri menatap wajahnya sambil memperhatikan air mukanya.
            “Betul Pak, Mama dan Papa saya asli dari Sidoarjo. Saya sekolah ke Jakarta karena Papa saya ditugaskan oleh instansinya menjadi Kepala Imigrasi di Jakarta ini,Pak.” Jawabnya mantap dan lancar. Pak Heri tampak serius dan menatap wajahnya. Pak Heri mendapat kesan yang kuat anak ini cerdas,cantik dan tutur katanya rapi. Pantas, batin beliau berkata, anak laki-laki banyak yang tertarik dengan makhluk cantik yang duduk di depannya ini.
            “Sebenarnya, ada apa, ya pak saya dipanggil?” tanya Devina memberanikan diri bertanya pada Pak Heri. Ia merasa tidak pernah melakukan pelanggaran apa pun di sekolah ini. Apalagi, ia baru sebulan di sekolah ini. Ia hanya tersenyum saja ketika banyak anak laki-laki yang suka mendekati dirinya dan ingin berkenalan . Tentu saja sebagai siswa yang baik ia tak mungkin menolaknya, apalagi kalau pakai alasan untuk silaturrahim segala. Ah, ada-ada saja alasannya. Batinnya sambil tersenyum geli sendiri.
            “Begini, Devina. Nama lengkap kamu Devina Andriyani Pratiwi, ya?”
            “Iya, Pak, kan maunya orang tua saya memberi nama itu,Pak.”
            “Jadi, nama tersebut sebetulnya kamu tidak menyukainya?” selidik Pak Heri sambil tersenyum
            “Ya, sukalah, Pak. Berdosa saya kalau nama yang baik itu saya protes apalagi sampai saya ganti. Tentu Mama Papa saya akan sedih dan repot, sebab, Akte Lahir saya ya, harus diganti. Sebagai anak yang baik saya yakin nama itu indah dan maknanya baik.” Jawab Devina meyakinkan Pak Heri. Pak Heri mengangguk-angguk dan tersenyum. Hatinya berkata, anak ini memang cerdas sama seperti Andini. Tapi, sayangnya Andini yang ayahnya seorang direktur perusahaan besar terkenal itu, punya sifat kebalikan dari Devina, tutur katanya terkesan tinggi hati dan melecehkan orang lain meskipun kecantikan wajahnya juga tak kalah dengan muridnya yang satu ini.Devina sopan dan murah senyum dan Andini tata krama bicaranya berantakan dan gampang bicara kasar.
            “Begini, Devina, kemarin papa kamu menemui Pak Guru,mengatakan ingin memindahkan sekolah kamu, karena katanya kamu merasa sangat tertekan dari ulah teman sekelas kamu juga yaitu Andini. Apa betul kamu mengalami hal buruk dengan dia?”, tanya Pak Heri lebih serius menunggu jawabannya. Andini tampak diam dan menatap kosong ke wajah wali kelasnya. Suasana hatinya galau serasa hidupnya kehilangan semangat dan terbang entah ke mana.Setelah agak tenang, barulah ia menjawab pertanyaan wali kelasnya.
            “Pak, saya sebenarnya tak pernah ingin pindah dari sekolah ini. Tapi Papa saya setelah mendengar cerita dari mama bahwa saya diperlakukan oleh Andini sedemikian rupa, yang saya sendiri nggak ngerti apa sebabnya Andini menuduh saya seperti itu. Apalagi pakai mengancam segala, saya lebih baik mengalah walaupun hati saya sedih, sakit,dan terluka sekali, Pak.” ,jawab Devina dengan  perasaannya yang tertekan sekali.Pak Heri terdiam dan menarik nafasnya dan tampak agak berpikir keras. Pengakuan Devina terhadap perilaku Andini ternyata benar seperti pengakuan teman-teman putri yang dekat dengan Devina meskipun mereka sesungguhnya sangat takut dengan Andini dan gengnya. Ini sudah keterlaluan pikir Pak Heri, harus segera diambil tindakan dan diakhiri. Guru BK Bu Diah dan Pak Hazirwan selaku guru bidang kesiswaan harus dilibatkan dalam penyelesaian ini, dan Pak Heri berharap papa Devina bisa melunak untuk tidak memindahkan anaknya. Malu juga dirinya sebagai wali kelas bila tak mampu menyelesaikan persoalan ini. Andini, murid yang satu ini memang selalu merepotkan. Selalu bikin ulah.
            “Kemarin, juga Andini dan teman-temannya sudah mengakui perbuatan mereka terhadap dirimu, meskipun kesan Bapak, mereka menganggap bahwa kamu sombong dan sok cantik. Mereka mungkin iri karena salah paham dengan sikapmu yang ramah kepada semua orang dan disenangi banyak anak laki-laki.Bisa saja dia merasa tersaingi oleh sikapmu, kalah pamor dengan kamu.Pak Guru merasa ini hanya kesalapahaman saja, tentunya harus diperbaiki. Kamu, maukan berdamai dan berbaikan dengan Andini meskipun sangat kecewa sekali diperlakukan seperti itu?”, tanya Pak Heri berharap agar Devina mau menerima solusi yang diinginkannya.Devina menarik napas lega, Pak Heri rupanya bisa menjinakkan Andini. Ia merasa Pak Heri mendukungnya untuk tetap bersekolah di SMP Muhammadiyah 31. Ada suasana kekeluargaan yang ia rasakan dibangun di sekolah ini. Kalau persoalan ini selesai, ia akan membujuk papanya agar tidak jadi memindahkan dirinya, meskipun bagi papanya orang yang menjadi pejabat negara, bisa dengan mudah memindahkan sekolahnya ke mana saja yang ia inginkan.
            Baginya sudah lebih dari cukup, sikap Pak Heri yang bijaksana mencarikan solusi agar kesalahpahaman yang terjadi karena ulah Andini bisa diselesaikan, ini membuatnya merasa lega. Ia ingin Andini menjadi temannya yang baik.Tirulah ulama besar kita yang bernama Buya Hamka, kata Pak Heri. Meskipun lima tahun dipenjarakan Bung Karno Presiden RI kita yang pertama, tanpa pernah dinyatakan salah dan diadili apa kesalahannya, Buya Hamka tak pernah dendam. Ia doakan Bung Karno ketika beliau sakit keras dan menjenguknya. Lalu, Buya Hamka menjadi imam shalat jenazah ketika Bung Karno meninggal.Ia merasa itu luar biasa sekali. Apakah ia bisa mencontoh cerita Pak Heri? Kata Ebiet G Ade tanyalah pada rumput yang bergoyang.
            Sejak Pak Heri memanggilnya, ia merasa intensitas serangan Andini menurun drastis. Tapi sindiran dan kata-kata mengejek seperti kata-kata “anak mami” dan ndeso tetap dilontarkan Andini. Celakanya mereka sekelas, tentu serangan kata-kata oleh Andini terhadap dirinya tak pernah berhenti. Untunglah wali kelasnya Pak Heri memahami hal itu. Tanpa ia ketahui, Pak Heri memanggil Andini dan mengajaknya bicara. Sejak dipanggil Pak Heri, Andini tak lagi melakukan “ serangan.” Tapi, sikap sinis dan bencinya tetap terlontar dari tatapan matanya, bak harimau melihat calon korbannya. Sedikit banyak, tentu ia bersyukur meskipun tak satu pun teman putrinya yang berani terang-terangan membelanya. Mereka takut mendapat serangan balik yang amat menyakitkan dari geng  Andini.
            Hari perdamaian yang bersejarah itu akhirnya tiba. Di ruang BK Andini dan geng-nya hadir lengkap. Tampak Bu Diah, guru BK, Pak Heri,dan Pak Hazirwan selaku guru kesiswaan di SMP Muhammadiyah 31turut hadir di ruangan itu.Devina diminta oleh Pak Hazirwan duduk berdekatan dengan Andini. Andini tampak canggung dan sering membuang muka dari hadapannya. Duduknya tampak tidak tenang. Untuk membuat situasi tidak tegang, Pak Hazirwan mengelurkan candanya ke kelompok Andini dan Devina. Bu Diah dan Pak Heri tampak tersenyum-senyum mendengar humor Pak Hazirwan. Suasana jadi cair.Andini mulai tampak tersenyum.
            Pak Heri diminta Bu Diah dan Pak Hazirwan membuka pertemuan. Setelah beliau membuka dan memberi salam,Andini dan geng-nya ditanya oleh Pak Heri apakah mereka hari ini sehat. Semuanya mengangguk. Setelah giliran Devina ditanya, apakah hari ia merasa sehat. Dengan dua kata ia mengucapkan kata “Ahamdulillah sehat.” Di sini terlihat, Devina jauh lebih dewasa dibandingkan Andini yang hanya mengangguk.Bu Diah spontan mengucapkan “amin.” Secara singkat Pak Heri menjelaskan apa maksud pertemuan ini.Semua yang hadir harus jujur dan hati bersih dari kebencian, dan rasa dendam.
            “Setelah ini, gak ada lagi geng-gengan.Tidak dibenarkan di sekolah kita kelompok semacam itu. Kita semua bersaudara.” , tambah Pak Hazirwan mengingatkan kepada Andini dan kelompoknya.
            “Dan juga, tidak ada buli-membuli teman, apapun  alasannya!’, tegas Bu Diah dengan serius. “Membuli itu perbuatan setan, buruk dan dosa.” , imbuhnya lebih lanjut. “Kalian semua, termasuk Ibu, Pak Heri, dan Pak Hazirwan adalah manusia biasa, pasti punya kelemahan dan kelebihan.Mintalah maaf kalau melakukan kesalahan. Sebaliknya, siap memberi maaf jika orang telah mengakui kesalahannya.” , kali ini ucapan Bu Diah tampaknya sedang semangat mengeluarkan kalimat panjang.
            Devina merasa di atas angin, hatinya merasa sejuk dan plong.Ia paham ketiga gurunya berada di pihaknya. Tapi ia tidak merasa bangga melainkan hanya bersyukur. Jauh di lubuk hatinya ia ingin bersahabat, kalau mungkin, dengan Andini. Kalau Andini tak bersedia jadi sahabat, minimal berteman dengan cara yang baik.Kelompok Andini yang lain tidaklah terlalu sulit untuk diluruskan ke jalan yang benar.Mereka hanya ikut-ikutan.Pak Heri meminta mereka saling bermaafan setelah mereka menerima nasihat guru-gurunya.
            “Maapin, gue ya.” Cetus Andini dengan agak kaku tanpa mau mengucapkan nama Devina.
            “Ya, Andini, saya juga minta maaf, kalau selama ini sikap saya juga tidak menyenangkan.”, jawab Devina tersenyum dan mengulurkan tangan. Tanpa ragu-ragu Devina memeluk Andini yang terlihat kaget dan kikuk.Melihat adegan itu, spontan Bu Diah,dan Pak Hazirwan bertepuk tangan berkali-kali. Andini akhirnya membalas pelukan Devina. Matanya digenangi titik air mata yang akhirnya luruh ke pipi. Si keras kepala ini akhirnya lunak juga. Ia terharu akan kebaikan Devina. Satu per satu teman-teman Andini memeluk Devina. Di luar jendela guru BK, langit mulai cerah setelah semalaman diguyur hujan. Devina melihat ada hari baru yang indah di sekolah ini.Ia ingin merayakan hari bersejarah ini dengan sekedar mengirim makanan kecil untuk guru-gurunya yang tulus dan ikhlas mendidik mereka. Segera ia telepon papanya yang mungkin masih resah akan nasib  dirinya.Ia berbisik dalam hatinya,”Papa, hari ini langit cerah kembali. Mudah-mudahan Papa bisa pulang sebelum mendung datang kembali.” (Herifial Sikumbang)
      edit

0 comments:

Post a Comment