Tuesday, November 1, 2016

Published 9:40 PM by with 0 comment

Empat Pilar Pendidikan Anak



Risau, sedih, pilu rasanya hati melihat kenyataan yang menimpa anak-anak belakangan ini, peristiwa kekerasan seakan-akan menjadi rangkaian mata rantai yang belum bisa diakhiri, sebagian anak mengalami nasib malang karena dianiaya orang tuanya.
Sejatinya anak-anaknya adalah perhiasan hidup dunia, yang menyenangkan hati orang tua, mereka dilahirkan bersih dan jujur. Anak kecil selalu tampil apa adanya, sehingga kehadirannya selalu dinanti dan dirindukan dalam keluarga.
Anak belajar dari kehidupan, sehingga mereka adalah produk masa yang dilaluinya. Karena itu kita wajib menyediakan tempat-tempat belajar (sekolah) terbaik bagi mereka. Ada 4 (Empat) tempat yang membentuk kepribadian anak:
Pertama, al-madrasah al-ula (sekolah pertama dan utama) yaitu, keluarga atau dikenal dengan pendidikan informal.
Dalam sebuah keluarga dibangun tata sosial dan etika seorang anak. Ayah dan ibu                   menjadi guru utama dalam menanamkan aqidah, tauhid, syariat, dan akhlak. perkataan dan perbuatan orangtua menjadi ‘model’, dan rujukan utama bagi anak. “Hai anak-anakku sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati, kecuali dalam memeluk agama Islam”. (QS. 2: 132)  
Dr. M. Nasih Uluwan, dalam buku “Pendidikan Anak dalam Islam”, menyebutkan, keluarga menjadi wadah untuk menanamkan aqidah, pohon tauhid, dan syariat dengan keteladanan, pembiasaan akhlakul karimah, serta nasehat yang baik. Lalu proses itu dikawal dengan pengawasan maksimal agar tumbuh menjadi pohon yang baik (syajaratun thayyibah).
Dalam Al-Qur’an dijelaskan, “Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik, seperti pohon yang baik akarnya teguh dan cabangnya menjulang ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap muslim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat”. (QS. 14 : 24 – 25)
Allah swt, dan Rasul-Nya memberikan otoritas kepada orangtua dalam membentuk anak sesuai kemaunnya. “Setiap anak itu dilahirkan fitrah (suci bersih) lalu kedua orang tuanyalah yang menjadikan Yahudi, Nasrani atau Majusi”. (HR : Bukhari dan Muslim).
Karena itu, jangan sampai salah asuh, salah didik, salah sekolah, dan salah teman. Bibit yang unggul sekalipun, jika ditanam di tanah gersang tidak disirami air, dan tidak dipupuk dan tidak dijaga, dirawat, akan tumbuh kerdil. Maka kewajiban orang tua menjaga dari segala petaka dan derita (neraka).
“Hai orang-orang yang beriman peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”. (QS. 66 : 6)
Kehidupan keluarga saat ini, telah terjadi pergeseran nilai yang memporak-porandakan  tatanan lama yang sudah mapan. Dengan ketatnya persaingan hidup yang dialami orang tua, akhirnya mereka sedikit mengabaikan kehidupan keluarganya. Memang sudah menjadi kenyataan, bahwa lingkungan pertama yang digoncang era globalisasi, dan modernisasi, adalah institusi keluarga, yang dalam waktu panjang bisa menimbulkan berbagai masalah yang cukup pelik, dan kompeks.
Meningkatnya angka kenakalan, bahkan kriminalitas remaja (“agresivitas remaja”) dari beberapa berita, terungkap bahwa sumber penyebab utamanya adalah, karena kurang atau rendahnya pemahaman dan kesadaran orang tua akan kewajiban dan tanggungjawab yang harus diembannya. Orang tua kurang mampu membimbing, mengarahkan, dan mengontrol perilaku serta aktivitas anak sehari-hari.
Terkadang orangtua menyerahkan tanggungjawab pendidikan kepada orang lain (asisten, guru, dan sebagainya) tanpa pengawasan yang jelas. Sehingga tidak sedikit orangtua tidak tahu apa yang dilakukan anak-anaknya. Orangtua semacam itu hanya mengutamakan pemenuhan kebutuhan fisik-material, namun mengabaikan pemenuhan kebutuhan mental psikologis yang dibutuhkan anak-anak.
Perlu disadari bahwa, orangtua berperan sebagai pengemudi utama keluarga, memikul beban untuk mengantarkan semua anggota keluarga ke pintu keselamatan dunia dan akhirat. Karena itu, Prof. Dr. KH. Didin Hafidhudin, dalam tulisannya, menekankan pentingnya pendidikan Al-Qur’an dalam keluarga.
Kedua, al-madrasah al-tsaniyah (sekolah kedua), yakni lembaga pendidikan formal (sekolah). Sekolah harus menjadi komunitas baru yang aman dan nyaman. Guru layaknya orangtua kedua bagi anak, kurikulum yang baik akan membantu keluarga dalam pembiasaan sikap, tutur kata, dan prilaku anak. Orang tua wajib memilih sekolah terbaik bukan termahal, yakni sekolah yang mengajarkan aqidah yang lurus, syariat yang benar, dan akhlak yang baik.
Ketiga, al-madrasah al-tsaalitsah (sekolah ketiga), lingkungan sosial paling besar pengaruhnya. Apabila anak berada di lingkungan yang baik, maka anak akan tumbuh, dan berkembang dengan baik pula, begitu pula sebaliknya.
Pendidikan di sebuah sekolah akan berhasil, jika ada sinergi antara sekolah dan orangtua, jangan sampai urusan pendidikan anak hanya diserahkan kepada pihak sekolah saja. Memang keberhasilan pendidikan anak, berawal dari pendidikan informal sepenuhnya. Lembaga-lembaga  pendidikan yang lain hanya melanjutkan apa yang sudah dilaksanakan orangtua dan pihak sekolah.
Keempat, al-madrasah al-raabi’ah (sekolah keempat), yakni media masa dengan segala jenisnya, seperti media sosial (Facebook, Twitter, dan lain-lain), media komunikasi (HP, Gadget), siaran TV, Internet.
 Begitu nyata tayangan TV yang tidak mendidik, dan HP yang merusak hubungan keluarga, warnet menjadi sekolah buruk yang bertebaran. Anak menjadi pribadi yang lemah, malas, dan pesimis.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an, “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah.” (QS. 4 : 9)  (Halimatussa’diah)
      edit

0 comments:

Post a Comment