Wednesday, November 2, 2016

Published 12:27 AM by with 0 comment

Guru “Gokil” Inspirasi Murid “Unyu”



Guru “Gokil” Inspirasi Murid “Unyu”

Judul              : Guru Gokil, Murid Unyu
Penulis            : J. Sumardianta
Penerbit          : PT Bentang Pustaka
Tahun             : 2013
Tebal              : 303 halaman
ISBN               : 978-602-7888-13-5

Saat ini guru bukan lagi sosok yang dihormati, melainkan ditakuti. Maklum saja, guru lebih suka mendidik siswanya, seperti mengisi ember kosong dengan batu besar. Terkadang juga dengan air keruh yang membahayakan jiwa. Kini, anak-anak enggan diarahkan, lebih-lebih untuk belajar. Mereka lebih senang mendidik diri sendiri di warnet-warnet dan rental game playstation di gang-gang sempit.
Benarlah apa yang dikatakan William Butler Yeats (Penyair Irlandia:1865-1939), dalam karya fenomenalnya “The Tower”. Bahwa pendidikan bukan pengisian ember, melainkan “menyalakan api”.
Guru yang hebat, menginspirasi murid. Ia sadar sepenuhnya punyak satu mulut dan dua telinga. Itu sebabnya, guru tipe ini berusaha menjadi pendengar yang baik dan tidak obral bualan di kelas sepanjang waktu (hlm 5).
Dengan menjadi inspirator dan pendengar yang baik bagi siswa-siswa, guru akan mampu membakar semangat belajar, dan menjelaskan perkara rumit dengan cara sederhana. Dengan demikian ia akan menjadi sosok yang selalu dicintai dan dirindukan para siswanya.
BukuGuru Gokil Murid Unyu ini, dirangkai oleh J. Sumardianta, yang sudah kenyang dengan asam garam mengajar dan mendidik. Ia sudah 20 tahun menjadi guru, di SMA Kolese John De Britto, Yogyakarta. Bahan Baku buku ini tak lain adalah apa-apa saja yang ia lihat, rasakan, dan alami sepanjang menjalani profesi guru.
 Menurutnya, guru harus berjiwa pengemudi tangguh dan bermental pemenang (winner). Bukan survivors. Karena saat ini, kebanyakan guru sekadar hidup, bahkan menumpang hidup, dan bekerja tanpa peduli dengan prestasi diri, dan anak didik (hlm 19).
Memang, menjadi guru bermental “juara” tidaklah mudah. Harus punyak keberanian melawan ketakutan, kenyamanan, dan hedonisme. Guru akan memiliki harga diri, bila ia mampu mengahargai potensi siswa-siswanya yang vareatif.
Guru sebagai living model, perilakunya selalu dilihat dan ditiru murid-murid. Itu sebabnya ia harus memiliki karakter dan kebiasaan luhur. “Murid akan lupa bila hanya mendengar ceramah guru. Murid akan mengingat apa yang diperlihatkan gurunya. Murid akan mengalami bila melakukan. Murid akan menguasai bila menemukannya sendiri.” (hlm 21).
Sekolah yang baik, akan membiasakan para siswanya dengan kerja-kerja sosial, di tempat pembuangan sampah akhir (TPA), perkampungan kumuh, sanggar pemberdayaan kaum marjinal, panti jompo, dan panti penyandang autis. Murid-murid diuji dengan ujian hidup sesungguhnya, bukan ujian di atas kertas kosong. Bukankah kehidupan itu memang sekolah yang paling sulit? Para murid tak akan pernah tahu, apakah masih mampu mengatasi ujian selanjutnya (hlm 26).
Guru adalah pendaki (climber), yang siap mengasah dan membekali murid-murid dengan kecakapan sosial, seperti berkomunikasi, memahami sesama, dan bekerja sama. Mendorong murid berpikir kreatif; menciptakan banyak ide, fleksibilitas, serta kemampuan beradaptasi dengan  berbagai lingkungan yang berbeda (hlm 31).
Guru “gokil” itu guru hebat (greatb teacher), yang mampu menginspirasi murid-murid menjadi “unyu” (cerdas). Generasi yang tak hanya galau melulu, tapi bisa mengatasi persoalan di tengah masyarakat yang “mabuk internet”, lingkungan yang tak sehat, dan tayangan televisi yang menghipnotis.
Buku ini wajib dibaca semua guru. Apabila mereka ingin kembali pada peran utamannya, menjadi “guru gokil” yang perannya ‘pengusir kegelapan’ sosial, sebagaimana makna gu berarti kegelapan dan ru berari menghilangkan.
*) Diresensi Oleh; Edi Sugianto, Penulis Buku “Menyalakan Api Pendidikan Karakter”.
      edit

0 comments:

Post a Comment