Citra Toba
Peneliti mengungkap pemicu letusan gunung api super Toba, letusan
terbesar sepanjang sejarah peradaban manusia. Pengetahuan itu bisa
menjadi dasar untuk memprediksi letusan gunung api super pada masa yang
akan datang.
Selama ini peneliti bertanya-tanya, bagaimana letusan Toba pada 74.000 tahun lalu bisa begitu besar. Dalam letusan itu, 2.800 kilometer kubik abu vulkanik dilepaskan ke atmosfer, memicu tahun tanpa musim panas di Eropa, serta membuat manusia di ambang kepunahan.
David Budd dari Departemen Ilmu Kebumian di Universitas Uppsala dan timnya menganalisis kristal kuarsa vulkanik yang dihasilkan dari letusan Toba. Kristal tersebut menunjukkan perubahan kimia dan termodinamika dalam magma.
"Mirip lingkaran tahunan pohon yang merekam variasi iklim," kata Budd seperti dikutip Daily Mail, Kamis (26/1/2017). "Saat kondisi magma berubah, kristal merespons dan membentuk zona berbeda yang merekam perubahan ini."
Penelitian ini penuh tantangan. Lingkaran perubahan kimia magma yang terdapat pada kristal kuarsa vulkanik hanya membentang beberapa mikrometer. Butuh kecermatan dalam menganalisis sehingga dinamika magma bisa terungkap.
Budd dan tim mengungkap, lingkaran kristal mengandung proporsi isotop 180 yang lebih rendah dibandingkan dengan isotop 160 yang lebih ringan. "Rendahnya perbandingan isotop 180 terhadap 160 menandakan bahwa sesuatu dalam sistem magma berubah drastis sebelum terjadinya erupsi besar," ujarnya.
Mengapa bisa begitu? Penjelasannya adalah adanya magma yang meleleh dan berasimilasi dengan bebatuan di sekitarnya dalam jumlah besar. Jenis batuan ini juga sering mengandung banyak air, yang mungkin dilepaskan ke dalam magma, memproduksi uap dan meningkatkan tekanan gas di dalam ruang magma.
"Tekanan gas membuat magma dengan cepat memecah kerak yang berada di atasnya, mengirimkan ribuan kilometer kubik magma ke atmosfer," ungkap Frances Deegan, peneliti lain yang terlibat. Itulah yang menyebabkan letusan Toba begitu besar.
Letusan sebesar Toba jarang terjadi. Namun, manusia tetap harus bersiap-siap. "Mudah-mudahan masih ribuan tahun lagi, tetapi faktanya ini hanya soal waktu sebelum letusan dahsyat berikutnya, bisa di Toba, Yellowstone (Amerika Serikat), atau tempat lain. Kita berharap, kita akan lebih siap dengan itu," ujar Deegan.
Sebelumnya, Ivan Koulakov dari Siberian Branch of the Russian Academy of Sciences melakukan penyelaman di Danau Toba yang dulunya merupakan lokasi Gunung Toba. Koulakov dan timnya ingin mencari tahu alasan besarnya volume magma yang dihasilkan Toba dan lamanya jarak antar-letusan.
Koulakov mengembangkan model berdasarkan data seismik. Mereka menemukan bahwa gunung berapi memiliki tempat penyimpanan magma yang besar. Tempat penyimpanan ini menjaga magma jauh di bawah kerak sampai ada cukup tekanan sehingga letusan terjadi.
Model simulasi yang baru ini juga mengungkapkan sistem yang kompleks, tempat terowongan magma multi-level sepanjang 150 km. Pada kedalaman tersebut, gas dan batuan meleleh. Lelehan tersebut kemudian terus bertambah hingga mencapai kedalaman 75 km, menciptakan tempat penyimpanan magma utama.
Selama ini peneliti bertanya-tanya, bagaimana letusan Toba pada 74.000 tahun lalu bisa begitu besar. Dalam letusan itu, 2.800 kilometer kubik abu vulkanik dilepaskan ke atmosfer, memicu tahun tanpa musim panas di Eropa, serta membuat manusia di ambang kepunahan.
David Budd dari Departemen Ilmu Kebumian di Universitas Uppsala dan timnya menganalisis kristal kuarsa vulkanik yang dihasilkan dari letusan Toba. Kristal tersebut menunjukkan perubahan kimia dan termodinamika dalam magma.
"Mirip lingkaran tahunan pohon yang merekam variasi iklim," kata Budd seperti dikutip Daily Mail, Kamis (26/1/2017). "Saat kondisi magma berubah, kristal merespons dan membentuk zona berbeda yang merekam perubahan ini."
Penelitian ini penuh tantangan. Lingkaran perubahan kimia magma yang terdapat pada kristal kuarsa vulkanik hanya membentang beberapa mikrometer. Butuh kecermatan dalam menganalisis sehingga dinamika magma bisa terungkap.
Budd dan tim mengungkap, lingkaran kristal mengandung proporsi isotop 180 yang lebih rendah dibandingkan dengan isotop 160 yang lebih ringan. "Rendahnya perbandingan isotop 180 terhadap 160 menandakan bahwa sesuatu dalam sistem magma berubah drastis sebelum terjadinya erupsi besar," ujarnya.
Mengapa bisa begitu? Penjelasannya adalah adanya magma yang meleleh dan berasimilasi dengan bebatuan di sekitarnya dalam jumlah besar. Jenis batuan ini juga sering mengandung banyak air, yang mungkin dilepaskan ke dalam magma, memproduksi uap dan meningkatkan tekanan gas di dalam ruang magma.
"Tekanan gas membuat magma dengan cepat memecah kerak yang berada di atasnya, mengirimkan ribuan kilometer kubik magma ke atmosfer," ungkap Frances Deegan, peneliti lain yang terlibat. Itulah yang menyebabkan letusan Toba begitu besar.
Letusan sebesar Toba jarang terjadi. Namun, manusia tetap harus bersiap-siap. "Mudah-mudahan masih ribuan tahun lagi, tetapi faktanya ini hanya soal waktu sebelum letusan dahsyat berikutnya, bisa di Toba, Yellowstone (Amerika Serikat), atau tempat lain. Kita berharap, kita akan lebih siap dengan itu," ujar Deegan.
Sebelumnya, Ivan Koulakov dari Siberian Branch of the Russian Academy of Sciences melakukan penyelaman di Danau Toba yang dulunya merupakan lokasi Gunung Toba. Koulakov dan timnya ingin mencari tahu alasan besarnya volume magma yang dihasilkan Toba dan lamanya jarak antar-letusan.
Koulakov mengembangkan model berdasarkan data seismik. Mereka menemukan bahwa gunung berapi memiliki tempat penyimpanan magma yang besar. Tempat penyimpanan ini menjaga magma jauh di bawah kerak sampai ada cukup tekanan sehingga letusan terjadi.
Model simulasi yang baru ini juga mengungkapkan sistem yang kompleks, tempat terowongan magma multi-level sepanjang 150 km. Pada kedalaman tersebut, gas dan batuan meleleh. Lelehan tersebut kemudian terus bertambah hingga mencapai kedalaman 75 km, menciptakan tempat penyimpanan magma utama.
Sumber: http://sains.kompas.com/
0 comments:
Post a Comment