Asteroid 2014 AA
(diameter ~3 meter, massa ~38 ton) telah musnah di atas Samudera
Atlantik pada Kamis 2 Januari 2014 sekitar pukul 11:00 WIB lalu tatkala
mengalami peristiwa airburst, yakni pelepasan hampir seluruh
energi kinetik yang diembannya setelah berjuang keras menembus selubung
atmosfer Bumi hingga berkeping-keping untuk kemudian terdeselerasi
secara mendadak. Sebagian kecil kepingnya
yang tersisa sebagai meteorit kini telah bersemayam di dasar samudera
nan dingin, sejauh sekitar 3.000 km di sebelah timur kota Caracas
(Venezuela). Namun gema yang ditimbulkan oleh kehadirannya masih
berdentang keras di telinga sebagian manusia. Betapa tidak? Airburst asteroid 2014 AA terjadi hanya berselang 11 bulan pasca airburst dengan energi jauh lebih tinggi yang dialami asteroid-tanpa-nama dalam Peristiwa Chelyabinsk di atas kawasan Siberia (Russia). Peristiwa Chelyabinsk disebabkan oleh asteroid berdiameter ~17 meter (massa 10.000 ton) yang mengalami airburst hingga menghasilkan gelombang kejut (shockwave) kuat dan panas (thermal rays)
berintensitas rendah. Ribuan orang mengalami luka-luka dan ribuan
bangunan mengalami kerusakan dengan total kerugian hingga milyaran
rupiah. Peristiwa Chelyabinsk mendemonstrasikan bagaimana ancaman
sesungguhnya dari peristiwa tumbukan benda langit, yakni saat komet/asteroid jatuh ke Bumi.
Gambar 1. Asteroid-tanpa-nama
saat melaju di dalam atmosfer Bumi menjelang airburst di atas
Chelyabinsk, Siberia (Russia) pada 15 Februari 2013 lalu. Inilah contoh
terkini betapa peristiwa tumbukan benda langit berpotensi merusak meski yang terjadi baru sebatas peristiwa airburst. Sumber : Popova dkk, 2013.
Simulasi kasar yang penulis lakukan menunjukkan asteroid 2014 AA
mulai memasuki atmosfer Bumi pada kecepatan 15 km/detik (54.200 km/jam)
dengan sudut zenith hanya ~5 derajat, sehingga lintasannya nyaris
tegaklurus terhadap titik targetnya. Tingginya kecepatan asteroid menghasilkan penekanan ram (ram pressure) sehingga suhu kolom udara yang tertekan hebat di depan asteroid menjadi sangat tinggi. Akibatnya permukaan asteroid pun mulai berpijar membara dan tergerus hingga terbentuklah meteor-terang (fireball)
dengan magnitudo semu hingga -10 pada puncaknya. Tekanan ram yang kian
menghebat seiring kian jauhnya meteor-terang menembus atmosfer
menyebabkan terjadinya pemecah-belahan (fragmentasi) kala besarnya
tekanan mulai melampaui ketahanan material asteroid.
Pemecah-belahan mulai terjadi semenjak ketinggian 45 km dari permukaan
laut dan terus berlangsung hingga ketinggian 35 km saat airburst
terjadi. Airburst melepaskan energi hingga 4,18 GigaJoule atau sebesar 1
kiloton TNT. Sebagai pembanding, energi ledakan bom nuklir di Hiroshima
pada akhir Perang Dunia 2 adalah 20 kiloton TNT. Sebagian kecil energi
ini, yakni sekitar 10 %, dilepaskan sebagai cahaya dalam bentuk kilatan
dengan magnitudo semu sekitar -18 atau -19, merujuk pada kejadian
sejenis.
Gambar 2. Atas: citra asteroid 2014 AA
(dalam lingkaran kuning) yang diabadikan Observatorium Gunung Lemmon
(AS) pada 1 Januari 2014. A, B dan C adalah bintang-bintang dalam rasi
Waluku (Orion). Bawah: titik lokasi airburst asteroid 2014 AA
berdasarkan deteksi gelombang infrasonik dari mikrobarometer di stasiun
IMS Kep. Bermuda, Bolivia dan Brazil. Sumber: NASA, 2014; Brown, 2014.
Berdasarkan gelombang infrasonik yang direkam instrumen mikrobarometer di 3 stasiun IMS (International Monitoring Systems) berbeda, yakni di Bolivia, Brazil dan Kepulauan Bermuda, maka lokasi airburst
terletak di koordinat 12 LU 40 BB. Stasiun IMS merupakan bagian
jejaring pengawas larangan ujicoba nuklir menyeluruh dalam kerangka
CTBTO (Comprehensive nuclear Tes Ban Treaty Organization) di
bawah kontrol Perserikatan Bangsa-Bangsa, sehingga memiliki kemampuan
untuk mendeteksi pelepasan energi besar dan singkat baik di atmosfer,
permukaan Bumi maupun di bawah tanah.
Bukan yang Pertama
Asteroid 2014 AA
telah terdeteksi dalam 23 jam sebelum menumbuk Bumi oleh Richard
Kowalski melalui teleskop 150 cm di Observatorium Gunung Lemmon Arizona
(AS), tulangpunggung sistem penyigian langit Catalina Sky Survey. Penyigian ini yang bertujuan melacak benda langit pelintas dekat Bumi, khususnya asteroid dan komet. Asteroid
terdeteksi saat masih berjarak hampir 500.000 km dari Bumi sebagai
benda langit sangat redup dengan magnitudo semu hanya +19. Namun
keberhasilan deteksi asteroid ini sebelum jatuh ke Bumi bukanlah kisah sukses pertama. Asteroid 2014 AA didului oleh asteroid 2008 TC3, yang telah terdeteksi pada 6 Oktober 2008 pukul 13:39 WIB atau hanya 20 jam sebelum menumbuk Bumi. Uniknya, asteroid
2008 TC3 juga pertama kali dideteksi oleh Kowalski menggunakan teleskop
yang sama dan observatorium yang sama dengan yang digunakan dalam
penemuan asteroid 2014 AA. Uniknya lagi, 2008 TC3 juga terdeteksi saat masih berjarak ~500.000 km dari Bumi.
Gambar 3. Orbit asteroid 2014 AA
dan 2008 TC3 di antara orbit Venus, Bumi dan Mars, disimulasikan dengan
Starry Night dari atas kutub utara Matahari pada 2 Januari 2014 pukul
07:00 WIB. Sumber: Sudibyo, 2014 dengan data dari NASA Solar System
Dynamics.
Namun berbeda dengan asteroid 2014 AAA yang relatif ‘sepi’ dari sambutan, asteroid
2008 TC3 menyedot perhatian besar. Tak kurang dari 26 observatorium
turut berpartisipasi dalam pengamatan yang membuahkan hingga 570 data.
Berlimpahnya data membuat hasil perhitungan menjadi lebih akurat dan
titik lokasi tumbukan
pun dapat diperkirakan sebelumnya, yakni di ruang udara gurun Nubia
yang secara administratif berada di Sudan bagian utara berdekatan dengan
perbatasan Mesir. Akurasi ini memungkinkan observasi berlanjut dengan
menggunakan satelit pengindera Bumi. Maskapai penerbangan komersial yang
pesawatnya melintas di dekat prediksi titik tumbukan pun dikontak guna memastikan peristiwa tersebut.
Dan tumbukan pun akhirnya benar-benar terjadi. Asteroid
2008 TC3 (diameter ~4 meter, massa ~83 ton) melejit memasuki atmosfer
Bumi pada kecepatan 12,4 km/detik (44.600 km/jam) pada sudut zenith 70
derajat. Satelit mata-mata AS merekam fragmentasi mulai terjadi pada
saat asteroid,
yang telah berubah menjadi meteor-terang, berada pada ketinggian 65 km.
Satelit yang sama dan juga satelit cuaca Meteosat-8/Eumetsat merekam airburst
terjadi pada ketinggian 37 km di koordinat 20,6 LU 33,1 BT. Airburst
ini melepaskan energi 1,1 hingga 2,1 kiloton TNT dengan 10 % diantaranya
berubah menjadi cahaya, sehingga padang pasir Nubia yang semula gelap
mendadak benderang mengingat airburst nampak sebagai kilatan
dengan magnitudo semu hingga -20 atau 800 kali lipat lebih benderang
dibanding Bulan purnama. Kilatan cahaya ini mengejutkan penduduk
setempat, yang sedang bersiap menunaikan shalat Shubuh. Kilatan cahaya
yang sama juga teramati oleh pilot Ron de Poorter dan kopilot Coen van
Uden, awak jumbo jet Boeing-747 penerbangan 592 milik maskapai KLM
(Belanda) yang melayani rute Johannesburg (Afrika Selatan) – Amsterdam
(Belanda) saat mereka berjarak sejauh 1.400 km dari titik airburst.
Kilatan yang sama pun sempat terekam oleh kamera keamanan salah satu
villa di di kota resor el-Gouna (Mesir) di pesisir Laut Merah, sejauh
725 km dari titik airburst.
Gambar 4. Atas: citra asteroid
2008 TC3 (dalam lingkaran kuning) yang diabadikan Observatorium Gunung
Lemmon (AS) pada 6 Oktober 2008. Bawah: titik lokasi airburst asteroid 2008 TC3 berdasarkan citra inframerah satelit Meteosat-8. Panah menunjukkan lintasan asteroid, garis biru menunjukkan Sungai Nil. Sumber: NASA, 2008; Shaddad dkk, 2010.
Seperti halnya asteroid 2014 AA, peristiwa airburst asteroid
2008 TC3 pun tidak menyebabkan masalah pada permukaan Bumi dibawahnya
meski merupakan daratan yang berpenduduk. Pelepasan energi hingga 2,1
kiloton TNT memang menghasilkan gelombang kejut (shockwave). Namun dengan titik airburst
yang setinggi 37 km, kekuatan gelombang kejutnya telah sangat melemah
kala tiba di permukaan Bumi dibawahnya sehingga tak berdampak merusak
sama sekali. Gelombang kejut lemah inilah yang terekam sebagai gelombang
infrasonik oleh instrumen mikrobarometer di stasiun IMS Kenya. Pasca
kejadian, di kawasan padang pasir Nubia khususnya di sekitar titik
koordinat airburst sepanjang proyeksi lintasan asteroid
dijumpai banyak meteorit. Secara akumulatif telah ditemukan lebih dari
600 buah meteorit dengan massa akumulatif sebesar 10,5 kg yang kemudian
dinamakan meteorit Almahata Sitta, merujuk pada nama Almahata Sitta
(Stasiun KA no. 6 dalam bahasa Sudan) yang berlokasi di dekat titik airburst.
Seperti halnya gelombang kejutnya, guyuran meteorit ini pun tak
berdampak merusak, terlebih dengan jarangnya pemukiman penduduk di sini.
Keterbatasan
Baik asteroid 2008 TC3 maupun 2014 AA merupakan bagian keluarga asteroid dekat Bumi (near earth asteroid)
kelas Apollo sehingga orbitnya, sebelum jatuh ke Bumi, merentang di
antara orbit Venus hingga Mars. Tetapi perbandingan parameter orbit
kedua asteroid menunjukkan meskipun keduanya sekeluarga, namun mereka adalah asteroid yang sama sekali berbeda sehingga tidak berasal dari satu induk yang sama.
Gambar 5. Perbandingan parameter orbit asteroid 2014 AA
dan 2008 TC3. nampak perbedaan yang sangat besar pada parameter titik
nodal menaik dan argumen perihelion, yang menandakan bahwa kedua asteroid ini tidak memiliki induk yang sama. Sumber: Sudibyo, 2014 dengan data dari NASA Solar System Dynamics.
Sukses deteksi asteroid 2008 TC3 dan 2014 AA
mendemonstrasikan bagaimana kemampuan sistem penyigi langit terkini.
Pada saat ini terdapat 14 sistem penyigi langit yang dioperasikan oleh
sejumlah negara. Selain CSS (Catalina Sky Survey), Amerika Serikat juga mengoperasikan LINEAR (Lincoln Near Earth Asteroids Research), Spacewatch, Pan-STARRS (Panoramic Survey Telescope and Rapid Response System) dan WISE (Wide-field Infrared Survey Explorer). Negara-negara Eropa juga berpartisipasi entah sebagai Uni Eropa dengan EUNASO (European NEA Search Observatories) dan EURONEAR (European Near Earth Asteroid Research) maupun atas nama sejumlah negara seperti Spanyol lewat TOTAS (Teide Observatory Tenerife Asteroid Survey) dan LSSS (La Sagra Sky Survey), Italia lewat CINEOS (Campo Imperatore Near Earth Object Survey) serta kerjasama Italia-Jerman dalam bentuk ADAS (Asiago DLR Asteroid Survey). Di Asia terdapat Cina yang mengoperasikan CNEOS/NEOST (China NEO Survey/NEO Survey Telescope) dan Jepang dengan JSGA (Japanese Space Guard Association).
Dan di Amerika Selatan ada Brazil dengan IMPACTON. Kecuali WISE yang
berpangkal pada satelit, semuanya sistem penyigi langit tersebut
berbasiskan teleskop robotik di permukaan Bumi yang dilengkapi instrumen
CCD sensitif, seperangkat pengolah citra, kecerdasan buatan dan
seperangkat basis data yang memungkinkan mereka mendeteksi asteroid dekat Bumi yang baru secara semi-otomatis.
Sistem-sistem penyigi langit itu cukup andal sehingga sebongkah batu
seukuran 3 hingga 4 meter saja telah bisa dideteksi saat masih berjarak
500.000 km dari Bumi, atau lebih jauh dari Bulan, seperti
didemonstrasikan dalam deteksi asteroid 2008 TC3 dan 2014 AA. Bahkan bongkahan batu sekecil 1 meter pun bisa dideteksi, seperti asteroid 2011 CQ1 yang ditemukan pada 4 Februari 2011 dalam jarak 366.000 km dari Bumi. Asteroid 2011 CQ1 kemudian melintas-sangat dekat, yakni pada jarak hanya 5.500 km di atas Samudera Pasifik hanya dalam 14 jam kemudian.
Namun demikian efektivitas sistem penyigian langit terbatas. Sistem
tidak bisa memantau langit secara terus-menerus selama 24 jam penuh
sehari karena sama sekali tak bisa bekerja di siang hari akibat
terangnya Matahari. Dan di malam-malam tertentu pun kinerja sistem
sangat terganggu oleh terangnya cahaya Bulan apalagi di sekitar Bulan
purnama. Kemampuan sistem penyigi langit untuk menemukan asteroid dekat Bumi yang belum dikenali sebelumnya sangat bergantung pada geometri orbit asteroid tersebut. Pada umumnya asteroid dekat Bumi yang belum dikenal akan berhasil terdeteksi oleh sistem tersebut bila geometri orbitnya demikian rupa sehingga asteroid
akan lebih benderang dibanding magnitudo semu +19 dalam beberapa
belas/puluh jam sebelum ia benar-benar melintas dekat/menumbuk Bumi. Dan
yang terakhir, kemampuan sistem penyigi langit terbatasi oleh
penyebarannya yang tak merata. Hampir seluruh sistem penyigi
terkonsentrasi di hemisfer utara dan hanya beberapa saja yang
berpangkalan di belahan Bumi selatan. Ketidakseimbangan ini membuat
pemantauan langit hemisfer selatan tidak lebih ketat dibanding hemisfer
utara.
Gambar 6. Jejak terkini yang ditinggalkan dari peristiwa tumbukan asteroid-tanpa-nama
yang tak terdeteksi sistem penyigian langit aktif masa kini. Atas:
lubang selebar ~7 meter di permukaan es Danau Cherbakul, Chelyabinsk
(Russia) yang dibentuk oleh meteorit berbobot ~600 kg pasca mengalami
airburst dalam peristiwa Chelyabinsk. Bawah: kawah selebar 13,5 meter
produk tumbukan asteroid berdiameter ~1 meter di Carancas (Peru). Sumber: Popova dkk, 2013; Tancredi dkk, 2009.
Terbatasnya efektivitas sistem menghasilkan celah besar dalam upaya mendeteksi semua asteroid
dekat Bumi yang belum dikenali meskipun mereka akan melintas sangat
dekat atau bahkan menuju ke Bumi sekalipun. Tidak semuanya bisa
terdeteksi. Celah inilah yang kerap berakibat pelik. Contoh teraktual
adalah peristiwa Chelyabinsk, saat asteroid-tanpa-nama
yang tak terdeteksi (meski diameternya ~17 meter) mengalami airburst di
atas kawasan Siberia (Rusia) dan melepaskan energi 500 kiloton TNT
dengan gelombang kejut yang merusak kota Chelyabinsk dan sekitarnya. Pun
demikian kala asteroid-tanpa-nama
lainnya, dengan diameter ~10 meter, mengalami airburst di atas
Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan (Indonesia) pada 8 Oktober 2009 yang
melepaskan energi 60 kiloton TNT. Demikian pula kala asteroid-tanpa-nama
yang lain, kali berdiameter ~1 meter, melejit menumbuk permukaan Bumi
di dataran tinggi tepian danau Titicaca dan membentuk lubang besar
(kawah) seukuran 13,5 meter di tepi desa Carancas (Peru).
Sumber: https://langitselatan.com/
Sumber: https://langitselatan.com/
0 comments:
Post a Comment