Wednesday, February 8, 2017

Published 2:24 AM by with 0 comment

Pleiades: Mitologi dan Signifikansinya dalam Budaya Jawa

Sebagai orang Indonesia, setidaknya kita pernah mendengar istilah “Bintang Tujuh”, baik dalam sudut pandang perbintangan maupun sebagai nama perusahaan farmasi terkenal. Namun tahukah kita akan apa makna Bintang Tujuh yang sebenarnya: apa yang dimaksud, bagaimana latar belakang kisahnya, dan apa signifikansinya bagi masyarakat kita? Baiklah kita mulai.
Gugus bintang Pleiades. Kredit: Hubble
Gugus bintang Pleiades. Kredit: Hubble
Mengenal Pleiades
Dalam Astronomi, Pleiades adalah gugusan bintang terbuka (Open Star Cluster). Gugusan bintang ini terdiri dari lebih dari seribu bintang yang sudah diketahui, namun karena jaraknya yang cukup jauh dengan Bumi, Pleiades terlihat hanya terdiri dari tujuh bintang utamanya, yaitu (menurut urutan abjad): Alcyone, Celaeno, Electra,  Maia, Merope, Taygeta, dan Sterope. Kadang disebutkan ada 9 bintang utama, yaitu tujuh putri tersebut ditambahkan dua bintang lagi, yaitu Atlas dan Pleione (orang tua Pleiades dalam mitologi Yunani). Meskipun seringkali disebut sebagai rasi bintang, Pleiades sebenarnya bukanlah salah satu dari 88 rasi bintang yang diakui oleh International Astronomical Union (IAU). Lebih tepatnya Pleiades adalah salah satu asterism, yaitu kumpulan bintang yang membuat suatu bentuk tertentu (sebagaimana rasi) namun merupakan bagian dari satu atau lebih rasi yang diakui oleh IAU. Dalam hal ini, Pleiades adalah asterism dari rasi Taurus.

Lukisan Pleiades karya Elihu Vedder pada tahun 1885 yang dipasang di Metropolitan Museum of Art. Sumber: Wikipedia
Dalam mitologi Yunani, Pleiades adalah 7 bersaudara, putri-putri Atlas, raksasa (Titan) yang memanggul bola Bumi di atas bahunya. Nama-nama mereka digunakan untuk menamai 7 bintang utama Pleiades. Mengenai asal nama Pleiades sendiri, terdapat beberapa versi. Versi pertama menyebutkan bahwa Pleiades berarti “putri-putri Pleione”, yang mana Pleione adalah ibu para Pleiades. Versi kedua, yang lebih disukai, menyatakan bahwa kata Pleiades berasal dari akar kata “plein” yang berarti berlayar. Versi ini sangat terkait dengan fungsi Pleiades dalam dunia pelayaran, dimana heliacal rise Pleiades menandakan dimulainya musim pelayaran di Laut Tengah/Laut Mediterania.
Di Indonesia, Pleiades dikenal dengan berbagai nama. Di pulau Jawa, namanya adalah Lintang Kartika, dua kata yang maknanya sama yaitu ‘bintang’. Beberapa orang berpendapat bahwa nama ganda tersebut menunjukkan betapa pentingnya Pleiades bagi masyarakat Jawa. Nama lainnya adalah Bintang Tujuh, meski kadang istilah ini sedikit rancu dengan Rasi Ursa Major/Beruang Besar yang juga memiliki asterism 7 bintang.
Pleiades dalam Mitologi Jawa
Karena begitu terang dan indahnya Pleiades, asterism ini sangat dikenal di berbagai penjuru dunia. Di Nusantara, beberapa daerah memiliki kisah mereka sendiri tentang Pleiades. Namun kali ini kita akan fokus pada budaya Jawa.
Dalam budaya Jawa, Pleiades sering kali dikaitkan dengan kisah Jaka Tarub dan Tujuh Bidadari. Meskipun saya belum menemukan literatur yang menunjukkan hubungan langsung kisah ini dengan Pleiades, namun kisah tersebut selalu menyertai pembahasan mengenai Pleiades. Bagi kita yang tinggal di Jawa atau dibesarkan dalam budaya Jawa tentunya kisah ini sudah tidak asing lagi. Kisah ini sudah pernah difilmkan dan bahkan beberapa kali diparodikan dalam berbagai acara televisi seperti Extravaganza. Namun bagi para pembaca yang belum pernah mendengar kisah tersebut, berikut ini adalah ringkasan ceritanya.
Alkisah ada seorang pemuda di pulau Jawa yang bernama Jaka Tarub. Suatu hari Jaka Tarub pergi berburu ke hutan. Dalam perjalanan itu, dia tiba di sebuah danau dan tak sengaja menemukan bahwa di danau tersebut terdapat tujuh orang bidadari dari langit yang sedang mandi. Karena terpikat oleh kecantikan bidadari-bidadari tersebut, Jaka Tarub mencuri selendang salah satu dari tujuh bidadari tersebut dan kembali ke tempat persembunyiannya, menunggu.
Ketika tiba waktunya para bidadari itu untuk kembali ke Kahyangan, salah satu dari mereka tidak dapat menemukan selendangnya. Nawangwulan, demikian nama bidadari itu, tidak dapat terbang kembali ke Kahyangan tanpa selendangnya. Akhirnya saudara-saudaranya terpaksa meninggalkan Nawangwulan di bumi. Nawangwulan hanya bisa menangis.
Melihat kesempatan emas ini, Jaka Tarub keluar dari persembunyiannya dan menyatakan niatnya untuk membantu. Singkat cerita, Jaka Tarub dan Nawangwulan akhirnya menikah. Sebelum menikah, Nawangwulan mengajukan syarat: Jaka Tarub tidak boleh mengintipnya ketika dia melakukan pekerjaan rumah tangga, dan tidak boleh bertanya sedikitpun mengenai hal tersebut. Karena cintanya pada Nawangwulan, Jaka Tarub menyanggupi. Dari pernikahan tersebut lahirlah seorang anak perempuan bernama Nawangsih.
Meskipun telah berjanji, Jaka Tarub penasaran akan bagaimana Nawangwulan melakukan pekerjaan rumah tangga, terutama menanak nasi. Pasalnya, beras di lumbung tidak pernah berkurang, bahkan  selalu bertambah setiap kali habis panen. Ketika ia tak mampu lagi membendung rasa ingin tahunya, ia membuka penanak nasi ketika Nawangwulan baru saja menanak nasi. Dari situ diketahuinya bahwa Nawangwulan hanya membutuhkan satu butir beras untuk memasak nasi kebutuhan hari itu. Karena ketahuan, hilanglah kekuatan gaib Nawangwulan sebagai bidadari.
Sejak saat itu, Nawangwulan harus menanak nasi sebagaimana manusia lainnya. Beras di lumbung pun semakin berkurang karena digunakan. Suatu hari, ketika timbunan beras di lumbung cukup rendah, Nawangwulan menemukan kembali selendangnya. Ia menyadari bahwa selama ini Jaka Tarub telah dengan sengaja menyembunyikan selendangnya agar ia tidak bisa kembali ke Kahyangan dan Jaka Tarub dapat menikahinya! Murka, Nawangwulan meninggalkan Jaka Tarub dan putri mereka untuk kembali ke Kahyangan. Segala air mata, penyesalan dan permohonan Jaka Tarub tidak dipedulikannya. Meskipun demikian, Nawangwulan berjanji untuk kembali dan menyusui putri mereka, dan akan kembali lagi pada malam sebelum pernikahan putri mereka tersebut. Akhirnya kembalilah Nawangwulan ke Kahyangan.
Tentunya sekarang kita bisa melihat mengapa kisah ini selalu dikaitkan dengan Pleiades. Tujuh bintang dalam asterism Pleiades dianggap sebagai representasi dari tujuh bidadari dalam kisah ini. Salah satu sumber [1] menyebutkan bahwa apabila salah satu bintang di asterism Pleiades tidak terlihat di langit, itu berarti Nawangwulan sedang turun ke Bumi untuk menyusui putrinya. Lalu apa kaitannya dengan budaya Jawa? Sekali lagi, meskipun saya belum menemukan literatur yang menyebutkan hubungan langsung Pleiades dan Kisah Jaka Tarub, beberapa tradisi dalam budaya Jawa didasarkan pada kisah ini.
Sebagai catatan, saya bukanlah ahil budaya Jawa. Apa yang akan saya tulis berikut ini adalah pengalaman dan pengetahuan pribadi yang saya dapatkan ketika tumbuh besar di lingkungan budaya Jawa yang kental.
Dalam ritual perkawinan Jawa, malam sebelum upacara pernikahan disebut sebagai Malam Midodareni bagi calon pengantin putri. Pada malam ini, para calon pengantin putri diminta untuk tidak keluar kamar dan tidak tidur semalam suntuk. Hal ini dikarenakan adanya kepercayaan bahwa pada malam itulah Nawangwulan dan saudara-saudaranya akan turun dari Kahyangan untuk mendandani calon pengantin putri sebagaimana Nawangwulan datang dan mendandani putrinya sendiri pada malam sebelum pernikahannya. Dipercaya, bila calon pengantin putri melakukan ini maka keesokan harinya saat upacara pernikahan ia akan tampil sangat cantik sehingga membuat orang pangling (bahasa Jawa “manglingi”). Kata “midodareni” sendiri dipercaya berasal dari kata “widodari” yang berarti “bidadari”.
Apakah hanya itu? Tidak juga. Ketika saya masih kecil, orang sering berkata bahwa kalau kita melihat pelangi, itu tandanya para bidadari sedang turun dari Kahyangan untuk mandi di danau terdekat. Pelangi adalah jejak cahaya ketika mereka turun. Tidak mengherankan tentunya kalau lukisan-lukisan tentang kisah Jaka Tarub dan Tujuh Bidadari seringkali menggambarkan setiap bidadari mengenakan warna pakaian yang berbeda, yaitu ketujuh warna utama pelangi.
Lukisan Tarian Bedhoyo Ketawang oleh S. Pandji pad atahun 2006. Sumber: PandjiPainting
Lukisan Tarian Bedhaya Ketawang oleh S. Pandji pada tahun 2006. Sumber dan copyright: PandjiPainting
Pleiades dan Tari Bedhaya Ketawang Bedhaya Ketawang adalah salah satu tarian dari Jawa Tengah yang dianggap sangat sakral. Saking sakralnya, tarian ini hanya dapat ditampilkan pada acara-acara khusus seperti penobatan Raja/Sultan dan acara penting lainnya. Para penarinya pun harus memenuhi beberapa persyaratan ketat, antara lain: mereka harus masih perawan, tidak sedang datang bulan ketika mementaskan tarian (untuk itu mereka selalu menyediakan penari cadangan), dan harus mengikuti beberapa ritual seperti puasa dan pingitan di dalam Kraton sebelum menampilkan tarian tersebut. Mengapa harus begitu, dan apa pula hubungannya dengan Pleiades?
Berdasarkan asal katanya, Bedhaya Ketawang berarti “Tarian Langit” atau “Tarian dari Langit”. Menurut sejarah, tarian ini diciptakan oleh Panembahan Senopati, raja pertama Kesultanan Mataram. Namun ada pula versi yang menyatakan bahwa tarian ini diciptakan oleh Batara Guru, sang Dewa Utama, dan pada saat pertunjukan perdananya ditarikan oleh tujuh bidadari yang tercipta dari tujuh permata berkilauan. Masih dari sudut pandang spiritual, dipercaya bahwa tarian ini merupakan ungkapan cinta antara Kajeng Ratu Kidul, sang Ratu Laut Selatan,  kepada suaminya, yaitu Raja-raja Mataram dimulai dari raja pertamanya, yaitu Panembahan Senopati. Seperti diketahui, masyarakat Jawa, khususnya Jawa Tengah, meyakini bahwa Kanjeng Ratu Kidul adalah istri spiritual raja-raja Mataram, Yogyakarta dan Surakarta.
Secara umum tarian ini ditarikan oleh 7-9 orang penari, yang tentu saja kesemuanya harus memenuhi persyaratan yang ketat seperti yang telah saya sebutkan di atas. Karena tarian ini adalah ungkapan cinta Kanjeng Ratu Kidul, tentu saja beliau ingin agar para penari menarikannya sesempurna mungkin. Masyarakat meyakini bahwa ketika latihan berlangsung, Kanjeng Ratu Kidul turut hadir untuk mengawasi latihan dan membetulkan gerakan penari yang kurang sempurna. Bahkan dipercaya bahwa dalam pementasan, salah satu penarinya adalah Kanjeng Ratu Kidul sendiri, baik menjelmakan diri maupun merasuki salah satu penari.
Lalu apa hubungan tarian ini dengan Pleiades? Nah, ini yang menarik. Dipercaya bahwa salah satu konfigurasi (posisi penari ketika menarikan tarian) penari dalam tarian ini mengikuti konfigurasi bintang-bintang yang membentuk asterism Pleiades! Dengan penari sejumlah 7-9 orang, tentunya tidak sulit untuk melihat hubungan tersebut, karena bintang terterang asterism Pleiades juga berjumlah 7-9 (tujuh putri Atlas, sembilan bila menyertakan bintang Atlas dan Pleione), tergantung kondisi langit ketika kita melihatnya.
Pleiades dan Pertanian
Telah disebutkan sebelumya bahwa asal kata Pleiades adalah dari kata “plein” yang berarti berlayar. Pleiades memang merupakan asterism yang digunakan dalam pelayaran tidak hanya di Eropa, namun juga di Nusantara, khususnya daerah Mentawai. Terbit dan tenggelamnya Pleiades menjadi panduan bagi masyarakat dalam pelayaran.
Bagi masyarakat Jawa, Pleiades memegang peranan cukup penting dalam pertanian. Apabila posisi Pleiades di langit mencapai 50° diatas cakrawala, itu berarti musim ketujuh atau Mangsa Kapitu dalam kalender pertanian Pranata Mangsa telah dimulai. Pada masa itu para petani mulai memindahkan bibit padi dari lahan pembibitan ke lahan utama. Meskipun Pranata Mangsa menggunakan rasi bintang Orion sebagai panduan utama, namun setiap musim memiliki rasi/gugusan bintang lainnya sebagai penanda. Untuk mengetahui lebih dalam mengenai Pranata Mangsa silakan baca tulisan Selayang Pandang Pranata Mangsa.

Sumber:  https://langitselatan.com/
      edit

0 comments:

Post a Comment