Tuesday, November 1, 2016

Published 10:23 PM by with 0 comment

Ubi dan Keikhlasan Seorang Anak


Di sebuah Desa terpencil, hiduplah seorang ayah bersama anaknya, mereka berdua tinggal di gubuk kecil, beralaskan kardus dan koran-koran bekas.
Suatu ketika, sang ayah bersama anaknya hendak membeli seikat ubi di pasar. “Pak…, saya mau membeli ubi, tapi uang saya sepertinya tidak cukup”, ujar sang ayah kepada pencual ubi. Kemudian si penjual ubi pun bertanya, “Anda punyak uang berapa?”, bapak dari anak kecil itu pun menjawab dengan rasa malu dan sedih, “Hanya ada 10.000 Pak, apa saya bisa membelinya?”, penjual ubi pun menjawab dengan lirih, “Bisa Pak…tapi hanya dapat 4 buah (ubi) saja”. Dengan sedih mereka berdua menerima ubi tersebut.
Setelah dari pasar, mereka tidak langsung pulang ke rumah (gubuk), namun terlebih dahulu mampir ke kebun tempat mengais rejekinya, yaitu mengumpulkan getah karet. Sesampainya di kebun sang ayah langsung bekerja dengan giat mengumpukan getah karet sebanyak mungkin. Si anak melihat ayahnya dengan rasa sedih, tanpa basa-basi si anak membantu ayahnya, dan bertanya, “Apakah Ayah tidak lelah mengerjakan ini?”, ayahnya pun menjawab, “Tidak Nak…Ayah mengerjakan ini dengan ikhlas, demi kelangsungan hidup kita”, anak itu itu pun bertanya lagi, “Kenapa Ayah tidak memilih pekerjaan yang lain?”, ayahnya terdiam sejenak, kemudian mengelus kepala anaknya, dan berkata, “Apapun pekerjaan Ayah, asalkan halal, dan dicintai Allah itu lebih penting anakku…”,  anak itu pun tersenyum.   
Matahari kian meninggi, dan menyengat kulit, sedangkan perut pun semakin lapar, sang ayah segera mengajak anaknya pulang. Mereka berdua melewati beberapa rumah dan sekolah. Si anak melihat teman-teman sebayanya asyik bermain di lapangan sekolah. Anak itu bertanya-tanya dalam hatinya, “Apakah aku bisa sekolah seperti mereka?”, si ayah hanya bisa merasakan kesedihan anaknya itu.  
Setelah sampai di gubuk tua, si anak mengambilkan minum untuk ayah tercinta, sembari memijatinya. Kemudian anak itu bertanya, “Ayah ubi ini mau dibuat apa?”, ayahnya menjawab, “Tentu untuk kita masak dan kita makan bersama Nak..”, si anak kembali berkata, “Ya...sudahlah Ayah…biar aku yang memasak ubi ini, Ayah istirahat saja”, tanpa banyak kata si ayah pun masuk dan beristirahat.
Kemudian anak yang baik itu, pergi ke dapur sederhanya untuk memasak ubi itu. Beberapa jam kemudian, ubi pun sudah matang dan empuk, serta siap dimakan. Anak itu kemudian mengangkat ubi-ubi tersebut dari panci ke pising. Sebelum si anak mencicipi satu pun ubi, tiba-tiba terdengar suara salam dari luar rumah. “Assalamu’alaikum…?” si anak itu kemudian bergegas keluar dan menjawabnya, “Wa’alaikumussalam”. Ternyata seorang nenek tua yang terlihat lemas. Nenek itu pun berkata, “Nak...nenek belum makan dari pagi, apakah keluargamu punyak makanan”? tanya si nenek tua itu. Lalu tanpa banyak mikir si anak baik itu memberikan empat buah ubi yang sudah siap dimakan tersebut, dan berkata. “Ini Nek…kami hanya punyak ubi”. Nenek pun dengan senang menerimanya, “Terimakasih Nak…”, ucap si nenek. “Sama-sama Nek…hati-hati…” si anak menjawab, dan nenek tua itu pun pergi.
Setelah beberapa menit, ayahnya pun terbangun, mungkin perutnya sudah sangat lapar karena dari pagi belum terisi apa pun. Si anak baru merasa bahwa hanya ubi itulah makanan satu-satunya yang mungkin bisa dimakan hari itu. Anak itu mendekati sang ayah, lalu berkata, “Ayah…maaf, ubi-ubi yang saya masak sudah habis, tadi aku berikan kepada nenek tua yang kelaparan”,  anak itu merasa bersalah, dan sedikit takut dimarahi ayahnya yang baru bangun tidur.
Namun sang ayah yang mulia itu hanya tersenyum, dan berkata, “Baguslah Nak…kalau kamu ikhlas nanti Allah akan memberikan yang lebih dari itu”, anak itu pun senang sebab ayahnya tak memarahinya. 
Kemudian sang ayah berkata, “Wahai Anakku dengarkanlah firman Allah berikut ini”: “Katakanlah (Muhammad). ‘Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang telah menerima wahyu, bahwa sesungguhnya Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa.’ Maka barang siapa yang ingin berjumpa dengan Tuhannya, maka hendaklah dia mengerjakan kebajikan, dan janganlah dia menyekutukan dengan sesuatu pun dalam beribadah kepada Tuhannya”. (Al Kahf, 18: 110).
Sang anak pun berkata, “Ayah…semoga kita bisa berjumpa dengan Allah, Rasulullah-Nya di Jannatun Na’im nanti”, amin…keduanya berdoa. (Bunga Zhafirah, dan Laksmina MR)



      edit

0 comments:

Post a Comment