Tuesday, November 1, 2016

Published 9:44 PM by with 0 comment

Keluarga ‘Benteng’ Radikalisme



Peristiwa bom bunuh diri di depan Gedung Sarinah, Jalan Thamrin beberapa minggu lalu (14/1), menyiratkan pesan bahwa radikalisme berjubah agama masih tumbuh subur di negeri ini. Bagaimana ‘pendidikan’ memberi solusi-preventif untuk menepis ekstremisme tersebut?
Menurut hemat saya, semua itu harus dikembalikan kepada “keluarga” sabagai pondasi pendidikan negeri ini. Mengapa demikian? Sebab semua aspek manusia, baik fisik, psikis, sosial, dan spiritual bersumber dari keluarga.
Fitzpatrick (2004), keluarga secara fungsional memiliki tugas-tugas psikososial, mencakup perawatan, sosialisasi pada anak, serta dukungan emosi, dan materi. 
Pondasi
Keluarga merupakan sekolah pertama, dan penentu kualitas hidup manusia. Kewajiban utama keluarga yaitu membangun pondasi pendidikan keagamaan inklusif-multikultural; menyangkut pluaralisme agama, perdamaian (peace and reconciliation), dan persaudaraan (brotherhood).
Dalam kehidupan keluarga, orangtua tidak boleh mencerminkan sikap diskriminatif  (“pilih kasih”) terhadap anak-anaknya, sebab tindakan semacam itu akan melahirkan kedengkian sosial anak dalam jangka panjang. Dengan kata lain, anak-anak yang toleran dengan perbedaan lahir dari orangtua yang meneladankan toleransi dalam kehidupan keluarga.
Peranan keluarga antara lain. Pertama, memberi pengalaman pertama masa kanak-kanak. Anak lahir bagaikan kertas kosong/putih (baca: teori tabularasa, John Locke). Karena itu, jiwa anak yang kosong tergantung orangtua yang mengisinya, akankah diisi ideologi eksklusivisme, mono-kulturalisme, dan intoleransi, sehingga menjadi generasi anarkis, radikal, bahkan teroris.
Sebaliknya, orang tua yang mengajarkan anaknya nilai-nilai agama yang utuh (kaffah), maka akan membentuk paradigma inklusif, pluralis-multikultural, yang melahirkan sikap saling menghormati, mengerti, dan menghargai perbedaan.
Kedua, menjamin kehidupan emosional anak. Melalui pendidikan keluarga, anak-anak senantiasa mendapatkan kasih sayang dan perhatian penuh orang tuanya. Kasih sayang adalah nilai multikulturalisme tertinggi dalam Alquran (QS. Al-Isra’, 17: 24. QS. Al-Fath, 48: 29).
Ketiga, menanamkan dasar pendidikan moral dan toleransi. Nabi Muhammad Swt, diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia serta menjadi rahmat alam semesta. "Dan tiadalah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam." (QS. Al-Anbiya’, 21: 107).
Beliau adalah teladan toleransi bagi para orang tua sepanjang masa. Ketika orang-orang Quraisy mengajak Nabi untuk menyembah tuhan mereka bersama-sama, Nabi tidak serta-merta marah dan mengangkat pedangnya. Namun, beliau menghadapi itu dengan penuh toleransi, dan kesabaran serta menunggu petunjuk Allah Swt. “Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku” (QS. al-Kafirun, 109: 6).
Setiap orangtua semestinya menjadi teladan toleransi. Cara orang tua bertutur kata, tingkah laku dan pola hidupnya, secara otomatis akan diperhatikan dan ditiru anak-anaknya. ‘Buah jatuh tak jauh dari pohonya’. Meski pepatah ini tak selalu benar faktanya, namun tak bisa dipungkiri, bahwa orang tua memegang peranan penting dalam menyemai generasi inklusif, dan toleran.
Keempat, memberikan dasar pendidikan sosial. Sebagai unit terkecil masyarakat, keluarga dituntut menanamkan dasar-dasar kepekaan sosial, dan kerukunan hidup, sebab kehidupan keluarga merupakan miniatur kehidupan sosial masyarakat.
Kalau kehidupan keluarga, misalnya antara kedua orangtua sering berantem di depan anak-anak, atau sosok suami bertindak anarkis terhadap istri dan anak-anaknya, maka kesan itu akan menjadi cara pandang hidup, kemudian mereka bawa ke masyarakat kelak.
Kelima, meletakkan dasar-dasar keagamaan. Orang tua harus mendidik anak-anaknya dengan dasar-dasar keagamaan yang utuh, agar mereka berkembang menjadi pribadi-pribadi yang mampu membedakan nilai-nilai partikular agama, seperti toleransi ber-agama (QS. al-Kafirun, 109: 6), dan nilai-nilai universalnya, seperti, tolong-menolong (QS. Al-Ma’idah, 5: 2), bersikap dermawan terhadap semua manusia (QS. Al-Ma’un, 107: 1-7), amar ma’ruf dan nahi munkar (QS. al-Imran, 3: 114), menebarkan kasih-sayang (QS. Al-Fath, 48: 29), dan memprioritakan perdamaian (QS. al-Anfal, 8 :61).
Maka untuk membangun generasi bangsa dan agama yang inklusif, toleran, dan pro-perdamaian, tak ada cara yang lebih baik dari memperkokoh pondasi pendidikan keluarga itu sendiri.
Pendidikan keluarga dalam kehidupan ber-bangsa dan beragama laksana sebuah rumah, jika rumah itu dibangun di atas pondasi multikulturalisme yang kokoh, maka pastilah semua komponen rumah akan saling menguatkan, namun jika pondasi tersebut rapuh, maka ‘tunggulah kehancurannya’.
Akhirnya, dengan menyemai toleransi dan multikulturalisme melalui keluarga, generasi bangsa ini akan hidup saling percaya (mutual trust), saling pengertian (mutual understanding), dan saling menghargai (mutual respect). Semoga! Edi Sugianto

      edit

0 comments:

Post a Comment