Wednesday, January 18, 2017

Published 1:38 AM by with 0 comment

Giliran Gempa Bersahutan di Jawa

Petugas Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Cilacap kini bersiaga 24 jam memantau ancaman gempa dan tsunami dari wilayah pesisir. "Kami berharap rentetan gempa yang terjadi belakangan tidak berpengaruh pada zona subduksi ini," kata Suherman, sekretaris badan tersebut.

Dia merujuk gempa Simeuleu (Aceh) berkekuatan 8,5 skala Richter pada 11 April dan gempa Banten berkekuatan 6,5 skala Richter yang terjadi empat hari kemudian. Zona subduksi lempeng Eurasia (tempat di mana Pulau Sumatera dan Jawa menjadi bagiannya) dengan lempeng samudra Indo-Australia berada 273 kilometer dari pesisir Cilacap.
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Serang mencatat gempa yang terjadi pada Ahad pukul 02.26 WIB berada di 95 kilometer barat daya Pandeglang, Banten. Kedalaman gempa sekitar 10 kilometer dan tidak berpotensi tsunami.
Menurut Danny Hilman Natawidjaja dari LabEarth Geoteknologi, LIPI, lokasi sumber gempa diperkirakan berada di zona subduksi, tapi tidak dekat dengan garis patahan. "Gempa Aceh beberapa hari lalu ada kemungkinan menjadi pemicu gempa di Banten pada bagian patahan yang bergerak," kata dia.
Apakah ini membenarkan teori gempa bersahut-sahutan? Rovicky Dwi Putrohari, Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia, menjelaskan, setelah gempa dahsyat di Aceh pada Desember 2004, membangunkan kembali sesar-sesar yang ada. "Yang sedang terjadi saat ini adalah gempa yang bersahut-sahutan di antara sesar-sesar di lempeng Indo-Australia dan Eurasia itu," ujar dia.
Namun pakar gempa dari ITB, Irwan Meilano, mempunyai data dan analisa berbeda. Dari data USGS dan pemantau gempa di Jerman, kedalaman sumber gempa Banten lebih dari 10 kilometer. Kedalamannya 40-60 kilometer lebih. "Soal kedalaman sumber gempa memang tidak mudah didefinisikan. Tapi, melihat lokasi dan mekanismenya, sekitar 40 kilometer," ujar dia.
Dari indikasi berupa guncangan gempa yang terasa hingga ke Jakarta dan Bekasi, Irwan yakin kedalaman sumber gempa lebih dari 10 kilometer. Titik sumber gempa itu masih berada di atas lempeng Indo-Australia, yang masuk ke bawah lempeng Eurasia. Terjadi di ujung utara dari bidang kontak dua lempeng tersebut. Ciri-cirinya, kata dia, terlihat dari arah jurusan gempa di atas 300 derajat dan mekanismenya sesar naik atau thrust.

Gempa serupa dari daerah perairan barat daya Banten itu, kata Irwan, pernah terjadi 4 kali pada 2010, sedangkan pada 2011 muncul lagi pada 12 Januari dan 30 Desember. Irwan dan pakar gempa sejawat menduga ada potensi ancaman gempa besar (megathrust) di kawasan itu.
Dari buku Katalog Gempa Bumi Merusak Tahun 1629-2006, yang dibuat Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, ada empat riwayat gempa di wilayah Banten yang tercatat. Pada 27 Februari 1903, lindu berskala VI MMI (Modified Mercally Intensity) mengakibatkan retakan pada dinding bangunan.
Skala intensitas yang mengukur tingkat kerusakan akibat gempa itu berdasarkan pengamatan saksi mata. "Saat itu magnitude gempanya tidak terlalu jelas, ada kemungkinan di atas 8," kata Irwan.
Pada 12 Mei 1923, gempa berskala VII MMI merusak bangunan di beberapa tempat di Banten. Selain itu, menara air di Pelabuhan Ratu dilaporkan roboh. Getaran gempa terasa di Jawa Barat, Krui Lampung, dan Sumatera Selatan.
Lindu pada 9 September 1974, berasal di kedalaman 51 kilometer, berkekuatan 6,1 skala Richter, menimbulkan keretakan rumah, bangunan roboh, dan getarannya terasa hingga ke Sumatera Selatan, Lampung, dan Jakarta.
Gempa pada 21 Desember 1999, berpusat di kedalaman 73 kilometer, berkekuatan 6,2 skala Richter, mengakibatkan lima orang meninggal di Pandeglang, 17 orang luka, sejumlah rumah roboh dan retak, atap berjatuhan, umumnya di sepanjang pantai Selat Sunda. Daerah paling parah berada di Panimbang.
Gempa yang terjadi di Banten, Ahad lalu, membuktikan bahwa segmen Selat Sunda masih aktif. Setelah gempa gempa dan tsunami di Aceh pada Desember 2004, segmen ini selalu dikatakan bahwa ada seismic gap.
Menurut Irwan, ada dua kemungkinan pada daerah seismic gap atau kekosongan kegempaan. Pertama, data tidak ada karena memang tidak ada potensi yang menghasilkan gempa besar.
Kedua, gempa-gempa kecil tersebut merupakan tahapan akumulasi energi gempa. Jika ini yang terjadi, kata Irwan, pada seismic gap tersebut memang tersimpan potensi gempa besar.


Segmen di zona subduksi yang juga bernama Selat Sunda Megathrust ini dimulai dari Lampung sampai Banten. Jika terjadi gempa, perkiraan gempanya hingga 8,7 skala Richter dan dapat mengakibatkan gelombang tsunami (Sumber: koran.tempo.co).
      edit

0 comments:

Post a Comment