Lasem memiliki tinggalan hasil akulturasi beragam budaya. Bingkai sejarah budaya ini merupakan salah satu kekuatan perkembangan Kota Candu tersebut.
Teras kediaman H.M. Zaim Ahmad Ma’shoem, yang kerap disapa Gus Zaim, tampak berpendar. Lampion-lampion menyala-nyala di atas karpet lesehan. Lepas magrib, rumah bergaya Cina-Hindia itu didatangi tamu-tamu undangan dari perwakilan warga, komunitas pelestarian dan wisata di Lasem.
Acara itu digelar pada 6 November malam di rumah Guz Zaim, yang berada di kompleks Pondok Pesantren Kauman, Lasem. Sejatinya, para pemuka dan warga sungguh merindukan kembalinya semangat kebersamaan dan gotong-royong di Lasem.
“Acara ini kami gagas karena perkembangan Lasem ke arah pariwisata dan pelestarian sudah sangat pesat," ujar Lasem yang punya banyak pusaka ini memerlukan peran aktif komunitas untuk bergerak bersama, bergotong royong, dan malam ini saya harap kita dapat merumuskan tujuan bersama,” ujar Gus Zaim.
Jagongan Pusaka Lasem dihadiri pengurus klenteng se-Lasem, komunitas pesantren, Pemuda Ansor, ulama, pemilik bangunan kuno, penggiat kesenian, pengusaha batik Lasem. Juga, komunitas pelesetarian pusaka seperti Bhre Lasem, Rembang Heritage Society, Lasem Creative Heritage Society, Pusaka Lasem, Padepokan Sambua, Dasun Heritage Society, Karang Taruna Ira Adhimukti Desa Ngemplak, Srawung Soditan, hingga Lasem Fest.
Lasem memiliki sejumlah julukan seperti Kota Candu, Corong Candu, Kota Santri, Kota Batik, Kota Wayang Pesisir, Kota Garam, dan Tiongkok Kecil. Kota kecamatan di Kabupaten Rembang ini memiliki kebudayaan berlapis, yang bermula dari prasejarah, Hindu dan Buddha, Islam, Cina, hingga kolonial. Lasem memiliki tinggalan hasil akulturasi beragam budaya. Bingkai sejarah budaya ini merupakan salah satu kekuatan perkembangan Lasem.
Baskoro dari Rembang Heritage Society menyatakan, "Pengembangan wisata Lasem harus berbasis pelestarian. Manusia-manusia pelestarinya harus mendapat perhatian, seperti tukang tempe yang sudah tiga generasi beroperasi, anak-anak muda Dasun yang setiap hari menyiram bibit tanaman di pantai untuk mencegah abrasi.”
Para pemuka masyarakat sepakat bahwa Lasem akan menjadi kota wisata berbasis pelestarian yang akan menonjolkan komunitas sebagai pelaku utamanya. Idealnya, jejaring komunitas dapat bersinergi dan saling memberdayakan.
"Pengembangan wisata Lasem harus berbasis pelestarian. Manusia-manusia pelestarinya harus mendapat perhatian, seperti tukang tempe yang sudah tiga generasi beroperasi, anak-anak muda Dasun yang setiap hari menyiram bibit tanaman di pantai untuk mencegah abrasi.”
Jelang acara, National Geographic Indonesia mengirimkan kabar kepada perwakilan komunitas setempat mengenai rencana keikutsertaan Lasem pada lomba pariwisata internasional World Travel and Tourism Council (WTTC) 2017 untuk kategori Destination Award. Kementerian Pariwisata telah menunjuk Lasem untuk mengikuti kompetisi tersebut. Pemerintah daerah pun telah berkomitmen mendukung upaya program ini.
“Kita sepakat turut serta WTTC ya! Ini momen penting bagi komunitas untuk bekerja sama. Pusaka Lasem, pejuang pelestari, dan komitmen pemerintah dari daerah sampai pusat bergerak untuk memajukan Lasem,” ujar Gus Zaim saat menutup Jagongan Pusaka Lasem.
Sejak malam itu jalan panjang pelestarian mulai terbentang. Mereka berharap dapat bersinergi untuk melindungi kawasan pusaka Lasem. Kiranya, cita-cita mulia akan terwujud apabila komunitas, pemerintah, dan swasta menyatukan gairah bersama untuk melestarikan budaya Lasem.
(Agni Malagina, pemerhati budaya Cina dari FIB-UI)
0 comments:
Post a Comment