Bersama begawan sejarah menyaksikan riwayat si ular besi yang melenggak-lenggok selama satu setengah abad di negeri ini.
“Ini adalah foto kedatangan rombongan Jenderal Soedirman dalam kaitannya pasca-Perundingan Linggarjati,” ujar Rusdhy Hoesein menunjuk sebuah foto yang dipamerkan di aula utama Stasiun Tanjungpriuk. “Jenderal Soedirman didampingi Mayor Jenderal Abdulkadir tiba di Stasiun Manggarai pada bulan November 1946.”
Dia melanjutkan bercerita, kedatangan mereka berkaitan dengan konferensi garis pertahanan antara pihak Indonesia dengan pihak Belanda. Jadi, imbuhnya, ketika Jakarta diduduki oleh Sekutu, kemudian oleh Belanda, banyak orang Republik yang terjebak. Mereka tidak sudi untuk berada di wilayah pendudukan Belanda.
“Bagaimana mereka diangkut ke dalam Republik?” tanyanya dengan gaya retorik. “Diangkut kereta api atas biaya pemerintah—tidak bayar!”
Rusdhy menarasikan sederet foto-foto terkait kereta pada masa revolusi Indonesia. Jelang Pertempuran 10 November, ujarnya sambil menunjuk sebingkai foto, banyak sekali pejuang yang datang dari luar Surabaya. Mereka menunggu di stasiun-stasiun di jawa Timur untuk diangkut ke Surabaya.
Foto lain bercerita tentang masa Bersiap, ketika Republik Indonesia bekerja sama dengan serdadu Sekutu untuk mengangkut tentara Jepang pulang ke negerinya pada April 1946. Tampak Tentara Keamanan Rakyat turut berjaga-jaga.
Kedatangan serdadu Sekutu di Stasiun Bekasi pada 1946 juga tak luput diabadikan dalam foto. Sebuah foto mengabadikan dinding Stasiun Bekasi yang penuh coretan semangat juang—Indonesia Merdeka, Merdeka atau Mati, dan sebagainya. Masih terkait peristiwa itu, pada September 1946, sejumlah bekas tawanan Jepang tiba di Bekasi. Mereka dikawal Tentara Keamanan Rakyat dan diangkut dengan kereta api. Bahkan, terpajang juga foto yang mengabadikan Bung Karno berkeliling Jawa dengan Kereta Api Luar Biasa ketika Indonesia masih belia. Tampaknya, riwayat kereta api begitu dekat dengan tapak perjuangan negeri ini.
“Bagaimana mereka diangkut ke dalam Republik?” tanyanya dengan gaya retorik. “Diangkut kereta api atas biaya pemerintah—tidak bayar!”
Rusdhy, yang kerap berompi, dikenal sebagai dokter dan sejarawan. Siang itu dia menjelaskan tentang foto-foto yang dipamerkan dalam "Pesta Peron Stasiun Tanjung Priok 2016” yang digelar oleh PT Kereta Api Indonesia (Persero) pada pertengahan November. Acara ini dihadiri oleh komunitas pencinta sejarah dan pencinta kereta.
Keberadaan stasiun ini tidak terlepas dari lokasi Pelabuhan Tanjungpriuk sebagai pintu gerbang Kota Batavia pada akhir abad ke-19. Stasiun yang kami kunjungi ini mulai dibangun dalam pemerintahan Gubernur Jendral Alexander Willem Frederik Idenburg pada 1914. Bersamaan dengan perayaan setengah abad Staatsspoorwegen beroperasi di Hindia Belanda pada 6 April 1925, stasiun ini pun diresmikan. Sang arsitek, C.W. Koch, menampilkan semangat rasionalisme dalam balutan selimut art-deco nan megah. Inilah tengara arsitektur awal abad ke-20.
Namun, kabarnya, bangunan itu menggantikan stasiun lama yang dibangun pada 1885. Tapak stasiun lama itu berada di sisi utara Stasiun Tanjungpriuk yang sekarang. Alasan utama pembangunan stasiun baru adalah kepadatan penumpang dan kesibukan bongkar muat pelabuhan yang kian meningkat hingga awal abad baru.
Stasiun Tanjungpriuk merupakan stasiun pertama yang melayani kereta listrik. Saat peresmiannya, lokomotif listrik ESS-3200 melaju dengan kereta penumpang yang menempuh rute Tanjungpriuk-Meester Cornelis. Ada dua rute utama, lewat Kemayoran dan lewat Koningsplein—sekarang kawasan Istana Merdeka.
Boleh dikata, inilah stasiun pertama yang melayani kereta listrik yang menjadi cikal bakal Commuterline kebanggaan warga Jakarta dan sekitarnya pada saat ini. Lewat penelusuran sejarah, apakah kita akan merayakaan Hari Kereta Listrik setiap April?
Di depan enam jalur rel, saya kembali menjumpai Rusdhy. Saya menunjuk tulisan di topi yang dikenakannya sambil berujar, "No History No Future". Saya bertanya kepadanya, "Apa sih yang bisa kita pelajari dari sejarah kereta api di Indonesia?"
Dia tersenyum, lalu menjawab pertanyaan saya. Di Asia, ujarnya, sejarah kereta api Indonesia memiliki riwayat tertua setelah India. Tampaknya, semasa kolonial pun orang sudah berpikir bahwa pada suatu hari jalan raya tidak akan mampu menampung begitu banyaknya kendaraan.
Mungkin saat itu para kolonialis telah memiliki pandangan jauh ke depan, setidaknya pembangunan angkutan kereta api di Hindia Belanda sangat menguntungkan secara ekonomi. “Jadi pemerintah kolonial sudah berpikir bagaimana pengangkutan murah, efektif, dan bisa melibatkan banyak sekali sistem lain yang akan tentunya membuka lapangan pekerjaan baru,” ujarnya. “Itu Fakta!”
Suatu hari pada 1864, Gubernur Jenderal Ludolph Anne Jan Wilt Baron Sloet van De Beele melakukan pencangkulan pertama untuk pembangunan rel kereta api rute Kemijen–Tanggung. Pembangunan rel ini mendapat pengawasan dari J.P. de Bordes dari Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij (NISM). Akhirnya, NISM meresmikan jalur kereta api Semarang–Tanggung sejauh 25 kilometer pada 10 Agustus 1867. Inilah peristiwa bersejarah ketika untuk pertama kalinya roda-roda kereta uap menggelinding di Hindia Belanda.
“Jadi pemerintah kolonial sudah berpikir bagaimana pengangkutan murah, efektif, dan bisa melibatkan banyak sekali sistem lain yang akan tentunya membuka lapangan pekerjaan baru,” ujarnya. “Itu Fakta!”
Namun, penawaran investasi kepada pihak swasta ternyata berakhir dengan kerugian pihak swasta, ujar Rusdhy. NISM tak kuasa menanggung semuanya. Tampaknya investasi di Hindia Belanda tidak selalu mulus seperti di Eropa. Akhirnya, pemerintah membuat sendiri Staatsspoorwegen untuk kepentingan penanganan masalah keamanan dan pertahanan—termasuk untuk memadamklan pemberontakan.
“Mengangkut tentara itu paling efektif dengan kereta api,” ujarnya. “Makanya, kalau di Jawa utamanya untuk ekonomi, pertanian, dan perdagangan, di Sumatra kereta api betul-betul untuk perlawanan terhadap para perusuh.”
Arus modal telah membuat wajah Hindia Belanda berubah. Investor besar membangun jalan kereta api, sementara investor lain membangun trem. Rusdhy mengingatkan bahwa kereta api dan trem mempekerjakan buruh yang begitu banyak di berbagai bidang. Kereta api menjelma sebagai salah sektor angkutan padat karya.
“Di negeri mana pun organisasi buruh rawan terlibat masalah politik,” ujarnya. “PKI lahirnya dari organisasi buruh kereta api dan trem di Semarang.”
“Kenapa sejarah kereta api begitu penting?” Rusdhy kembali menyodorkan pertanyaan retoris. “Karena cara memaknainya itulah letak pentingnya.” Kemudian dia menambahkan, “Masa kereta api uap sudah terbukti bahwasanya kereta api itu menguntungkan, terutama bagi rakyat kecil.”
Rusdhy menunjuk atap Stasiun Tanjungpriuk yang melengkung megah. Kendati pembangunannya bersamaan dengan kecamuk Perang Dunia Pertama di Eropa, seluruh rangka besi dan porselennya diimpor dari Eropa. Pagar-pagar yang membatasi kawasan peron pun masih orisinal.
"Jadi saya pikir," ujarnya, "menapaki masa lalu itu sungguh penting. Hanya mereka yang bisa memahami masa lalu, yang akan meraih masa depan!" Menurutnya, masa lalu turut menjadi bagian budaya kita, sehingga berbanggalah kita sebagai manusia Indonesia yang masih memiliki budaya. "Seyogyianya, perhatian kita ke masa-masa yang akan datang, jangan sampai menghapus sejarah."
Kami memasuki aula berlangit-langit tinggi, yang dihubungkan oleh beberapa pintu. Ruangan ini memiliki semacam meja resepsionis layaknya hotel. Di sebelahnya terdapat ruangan lagi dengan pilar-pilar. Setiap sisi pilarnya tertambat meja gantung, mungkin digunakan untuk menulis berkas pendek.
Selain sebagai stasiun kereta, dahulu bangunan ini juga merangkap sebagai penginapan. Setelah lelah mengarungi samudra, para pejalan bisa beristirahat di penginapan Stasiun Tanjungpriuk sembari menanti keberangkatan mereka ke Stasiun Bogor, atau tujuan lain. Sederet kamar penginapan berlokasi di lorong kantai kedua pada sayap barat stasiun, hingga kini masih lestari. Deretan kamar itu dihubungkan oleh dua anak tangga di setiap ujungnya.
Kami memasuki kamar kecil yang terletak di balik aula tadi. Tiga urinoar porselen putih berlabel “R.S.Stokvis & Zonen – Rotterdam” warna biru masih memukau perhatian. Bisnis perusahaan yang didirikan Rafael Samuel Stokvis ini sohor melayani kebutuhan kendaraan bermotor, sepeda, hingga urusan peturasan.
“Budaya keramik ini pernah menyemarakkan pembangunan Kota Jakarta,” ujar Rusdhy sambil menunjuk lantai kamar kecil yang menampilkan paduan pola nan indah. "Gaya-gaya seperti inilah yang mewakili awal abad ke-20."
Di balik kamar kecil, dari tangga sempit yang melingkar, kami naik hingga atap stasiun. Sudah barang tentu, dahulu tangga ini hanya digunakan oleh awak stasiun, bukan tetamu. Tangga itu juga menghubungkan dengan ruangan lantai dasar stasiun yang kini dibiarkan gelap gulita dan terbanjiri air. Menaiknya muka laut, mengingatkan kita tentang bencana ambles dan tenggelamnya Jakarta.
"Jadi saya pikir," ujarnya, "menapaki masa lalu itu sungguh penting. Hanya mereka yang bisa memahami masa lalu, yang akan meraih masa depan!"
Di atap Stasiun Tanjungpriuk, saya memandangi kesibukan derek yang memindahkan peti kemas di pelabuhan. Kesibukan yang pernah menandai kemunculan stasiun ini pada abad akhir ke-19.
Kita telah berkereta satu setengah abad. Apa yang bisa kita petik dari riwayat kereta api untuk masa depan Indonesia? Saya teringat perkataan Rusdhy bahwa andaikata perkerataapian di Indonesia bisa dibangun hingga sepuluh tahun mendatang, kelak hasilnya sangat berdampak pada kemajuan transportasi di Indonesia.
Kereta boleh jadi transportasi paling murah. Sekarang, kereta api lebih sehat dan aman ketimbang kereta pada satu dekade silam. Stasiun-stasiun juga bersolek sehingga membuat nyaman penumpang, kendati belum semuanya bisa dikategorikan nyaman. Tampaknya, ada penanda peradaban baru dalam berkereta listrik di Indonesia: tersedianya tempat duduk prioritas bagi penumpang berkebutuhan khusus dan tak ada lagi penumpang di atap kereta. Untuk segelintir persoalan di metropolitan, tampaknya kereta telah mengubah budaya transportasi kita.
Salah satu upaya membangkitkan kembali semangat berkereta sebagai solusi transportasi zaman kini, menurut Rusdhy, adalah merevitalisasi aset-aset kereta api kita. Upaya utamanya, meruwat jalur-jalur rel kereta yang hilang di Jawa, Madura, Sumatra, dan Sulawesi. Mungkin, panjang rel yang tak lagi digunakan, atau bahkan hilang, mencapai ribuan kilometer.
“Dulu di Madura ada kereta api, di Sulawesi ada kereta api, kenapa sekarang hilang?” Kemudian Rusdhy menandaskan, “Jadi bangsa kita, abis menjebol, lupa membangun!”
0 comments:
Post a Comment