Risau, sedih, pilu rasanya hati melihat kenyataan yang menimpa anak-anak
belakangan ini, peristiwa kekerasan seakan-akan menjadi rangkaian mata rantai
yang belum bisa diakhiri, sebagian anak mengalami nasib malang karena dianiaya
orang tuanya.
Sejatinya
anak-anaknya adalah perhiasan hidup dunia, yang menyenangkan hati orang tua,
mereka dilahirkan bersih dan jujur. Anak kecil selalu tampil apa adanya,
sehingga kehadirannya selalu dinanti dan dirindukan dalam keluarga.
Anak belajar
dari kehidupan, sehingga mereka adalah produk masa yang dilaluinya. Karena itu
kita wajib menyediakan tempat-tempat belajar (sekolah) terbaik bagi mereka. Ada
4 (Empat) tempat yang membentuk kepribadian anak:
Pertama, al-madrasah
al-ula (sekolah pertama dan utama) yaitu, keluarga atau dikenal dengan
pendidikan informal.
Dalam sebuah
keluarga dibangun tata sosial dan etika seorang anak. Ayah dan ibu menjadi guru utama dalam
menanamkan aqidah, tauhid, syariat, dan akhlak. perkataan dan perbuatan
orangtua menjadi ‘model’, dan rujukan utama bagi anak. “Hai anak-anakku
sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati, kecuali
dalam memeluk agama Islam”. (QS. 2: 132)
Dr. M. Nasih
Uluwan, dalam buku “Pendidikan Anak dalam Islam”, menyebutkan, keluarga menjadi
wadah untuk menanamkan aqidah, pohon tauhid, dan syariat dengan keteladanan,
pembiasaan akhlakul karimah, serta nasehat yang baik. Lalu proses itu dikawal
dengan pengawasan maksimal agar tumbuh menjadi pohon yang baik (syajaratun thayyibah).
Dalam Al-Qur’an
dijelaskan, “Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat
perumpamaan kalimat yang baik, seperti pohon yang baik akarnya teguh dan
cabangnya menjulang ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap muslim
dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia
supaya mereka selalu ingat”. (QS. 14 : 24 – 25)
Allah swt, dan
Rasul-Nya memberikan otoritas kepada orangtua dalam membentuk anak sesuai
kemaunnya. “Setiap anak itu dilahirkan fitrah (suci bersih) lalu kedua orang
tuanyalah yang menjadikan Yahudi, Nasrani atau Majusi”. (HR : Bukhari dan
Muslim).
Karena itu, jangan
sampai salah asuh, salah didik, salah sekolah, dan salah teman. Bibit yang
unggul sekalipun, jika ditanam di tanah gersang tidak disirami air, dan tidak
dipupuk dan tidak dijaga, dirawat, akan tumbuh kerdil. Maka kewajiban orang tua
menjaga dari segala petaka dan derita (neraka).
“Hai
orang-orang yang beriman peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka,
yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang
kasar, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada
mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”. (QS. 66 : 6)
Kehidupan
keluarga saat ini, telah terjadi pergeseran nilai yang memporak-porandakan tatanan lama yang sudah mapan. Dengan
ketatnya persaingan hidup yang dialami orang tua, akhirnya mereka sedikit
mengabaikan kehidupan keluarganya. Memang sudah menjadi kenyataan, bahwa lingkungan
pertama yang digoncang era globalisasi, dan modernisasi, adalah institusi
keluarga, yang dalam waktu panjang bisa menimbulkan berbagai masalah yang cukup
pelik, dan kompeks.
Meningkatnya
angka kenakalan, bahkan kriminalitas remaja (“agresivitas remaja”) dari
beberapa berita, terungkap bahwa sumber penyebab utamanya adalah, karena kurang
atau rendahnya pemahaman dan kesadaran orang tua akan kewajiban dan tanggungjawab
yang harus diembannya. Orang tua kurang mampu membimbing, mengarahkan, dan
mengontrol perilaku serta aktivitas anak sehari-hari.
Terkadang
orangtua menyerahkan tanggungjawab pendidikan kepada orang lain (asisten, guru,
dan sebagainya) tanpa pengawasan yang jelas. Sehingga tidak sedikit orangtua
tidak tahu apa yang dilakukan anak-anaknya. Orangtua semacam itu hanya mengutamakan
pemenuhan kebutuhan fisik-material, namun mengabaikan pemenuhan kebutuhan
mental psikologis yang dibutuhkan anak-anak.
Perlu disadari
bahwa, orangtua berperan sebagai pengemudi utama keluarga, memikul beban untuk mengantarkan
semua anggota keluarga ke pintu keselamatan dunia dan akhirat. Karena itu, Prof.
Dr. KH. Didin Hafidhudin, dalam tulisannya, menekankan pentingnya pendidikan
Al-Qur’an dalam keluarga.
Kedua, al-madrasah
al-tsaniyah (sekolah kedua), yakni lembaga pendidikan formal (sekolah).
Sekolah harus menjadi komunitas baru yang aman dan nyaman. Guru layaknya orangtua
kedua bagi anak, kurikulum yang baik akan membantu keluarga dalam pembiasaan
sikap, tutur kata, dan prilaku anak. Orang tua wajib memilih sekolah terbaik
bukan termahal, yakni sekolah yang mengajarkan aqidah yang lurus, syariat yang
benar, dan akhlak yang baik.
Ketiga, al-madrasah
al-tsaalitsah (sekolah ketiga), lingkungan sosial paling besar pengaruhnya.
Apabila anak berada di lingkungan yang baik, maka anak akan tumbuh, dan berkembang
dengan baik pula, begitu pula sebaliknya.
Pendidikan di
sebuah sekolah akan berhasil, jika ada sinergi antara sekolah dan orangtua,
jangan sampai urusan pendidikan anak hanya diserahkan kepada pihak sekolah
saja. Memang keberhasilan pendidikan anak, berawal dari pendidikan informal
sepenuhnya. Lembaga-lembaga pendidikan
yang lain hanya melanjutkan apa yang sudah dilaksanakan orangtua dan pihak sekolah.
Keempat, al-madrasah
al-raabi’ah (sekolah keempat), yakni media masa dengan segala jenisnya, seperti
media sosial (Facebook, Twitter, dan lain-lain), media komunikasi (HP, Gadget),
siaran TV, Internet.
Begitu nyata tayangan TV yang tidak mendidik,
dan HP yang merusak hubungan keluarga, warnet menjadi sekolah buruk yang
bertebaran. Anak menjadi pribadi yang lemah, malas, dan pesimis.
Allah
berfirman dalam Al-Qur’an, “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang
yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah.” (QS. 4 :
9) (Halimatussa’diah)
0 comments:
Post a Comment