Peristiwa bom
bunuh diri di depan Gedung Sarinah, Jalan Thamrin beberapa minggu lalu
(14/1), menyiratkan pesan bahwa radikalisme berjubah agama masih tumbuh subur
di negeri ini. Bagaimana ‘pendidikan’ memberi solusi-preventif untuk menepis ekstremisme
tersebut?
Menurut hemat saya, semua itu harus
dikembalikan kepada “keluarga” sabagai pondasi pendidikan negeri ini. Mengapa
demikian? Sebab semua aspek manusia, baik fisik, psikis, sosial, dan spiritual
bersumber dari keluarga.
Fitzpatrick (2004), keluarga secara
fungsional memiliki tugas-tugas psikososial, mencakup perawatan, sosialisasi
pada anak, serta dukungan emosi, dan materi.
Pondasi
Keluarga merupakan
sekolah pertama, dan penentu kualitas hidup manusia. Kewajiban utama
keluarga yaitu membangun pondasi pendidikan keagamaan
inklusif-multikultural; menyangkut pluaralisme agama, perdamaian (peace and reconciliation), dan persaudaraan (brotherhood).
Dalam
kehidupan keluarga, orangtua tidak boleh mencerminkan sikap diskriminatif (“pilih kasih”) terhadap anak-anaknya, sebab
tindakan semacam itu akan melahirkan kedengkian sosial anak dalam jangka
panjang. Dengan kata
lain, anak-anak yang toleran dengan perbedaan lahir dari orangtua yang meneladankan toleransi
dalam kehidupan keluarga.
Peranan
keluarga antara lain. Pertama, memberi pengalaman pertama masa
kanak-kanak. Anak lahir
bagaikan kertas kosong/putih (baca: teori tabularasa, John Locke).
Karena itu, jiwa anak yang kosong tergantung orangtua yang mengisinya, akankah
diisi ideologi eksklusivisme, mono-kulturalisme, dan intoleransi, sehingga
menjadi generasi anarkis, radikal, bahkan teroris.
Sebaliknya, orang tua yang
mengajarkan anaknya nilai-nilai agama yang utuh (kaffah), maka akan membentuk paradigma inklusif,
pluralis-multikultural, yang melahirkan sikap saling menghormati, mengerti, dan
menghargai perbedaan.
Kedua, menjamin kehidupan
emosional anak. Melalui pendidikan keluarga, anak-anak senantiasa mendapatkan
kasih sayang dan perhatian penuh orang tuanya. Kasih sayang adalah nilai
multikulturalisme tertinggi dalam Alquran (QS. Al-Isra’, 17: 24. QS. Al-Fath,
48: 29).
Ketiga, menanamkan dasar
pendidikan moral dan toleransi. Nabi Muhammad Swt, diutus untuk
menyempurnakan akhlak manusia serta menjadi
rahmat alam semesta. "Dan tiadalah Kami mengutus kamu (Muhammad),
melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam." (QS. Al-Anbiya’, 21:
107).
Beliau adalah
teladan toleransi bagi
para orang tua sepanjang masa. Ketika orang-orang Quraisy mengajak Nabi
untuk menyembah tuhan mereka bersama-sama, Nabi tidak serta-merta marah dan
mengangkat pedangnya. Namun, beliau menghadapi itu dengan penuh toleransi, dan
kesabaran serta menunggu petunjuk Allah Swt. “Untukmu agamamu, dan untukkulah,
agamaku” (QS. al-Kafirun, 109: 6).
Setiap orangtua semestinya menjadi teladan toleransi. Cara orang tua bertutur kata,
tingkah laku dan pola hidupnya, secara otomatis akan diperhatikan dan ditiru
anak-anaknya. ‘Buah jatuh tak jauh dari pohonya’. Meski pepatah ini tak selalu benar faktanya, namun tak
bisa dipungkiri, bahwa orang tua memegang peranan penting dalam menyemai generasi
inklusif, dan toleran.
Keempat, memberikan
dasar pendidikan sosial. Sebagai unit terkecil masyarakat, keluarga
dituntut menanamkan dasar-dasar kepekaan sosial, dan
kerukunan hidup, sebab kehidupan keluarga merupakan miniatur kehidupan
sosial masyarakat.
Kalau kehidupan keluarga, misalnya
antara kedua orangtua sering berantem di depan anak-anak, atau sosok suami
bertindak anarkis terhadap istri dan anak-anaknya, maka kesan itu akan menjadi
cara pandang hidup, kemudian mereka bawa ke masyarakat kelak.
Kelima, meletakkan dasar-dasar
keagamaan. Orang tua harus mendidik anak-anaknya dengan dasar-dasar keagamaan
yang utuh, agar mereka berkembang menjadi pribadi-pribadi yang mampu membedakan
nilai-nilai partikular agama, seperti toleransi ber-agama (QS. al-Kafirun, 109:
6), dan nilai-nilai universalnya, seperti, tolong-menolong (QS. Al-Ma’idah, 5: 2), bersikap
dermawan terhadap semua manusia (QS. Al-Ma’un, 107: 1-7), amar ma’ruf
dan nahi munkar (QS. al-Imran, 3: 114), menebarkan kasih-sayang (QS. Al-Fath, 48: 29), dan memprioritakan perdamaian (QS. al-Anfal, 8 :61).
Maka untuk membangun generasi
bangsa dan agama yang inklusif, toleran, dan pro-perdamaian, tak ada cara yang
lebih baik dari memperkokoh pondasi pendidikan keluarga itu sendiri.
Pendidikan keluarga dalam kehidupan
ber-bangsa dan beragama laksana sebuah rumah, jika rumah itu dibangun di atas
pondasi multikulturalisme yang kokoh, maka pastilah semua komponen rumah akan
saling menguatkan, namun jika pondasi tersebut rapuh, maka ‘tunggulah
kehancurannya’.
Akhirnya, dengan menyemai toleransi
dan multikulturalisme melalui keluarga, generasi bangsa ini akan hidup saling
percaya (mutual trust), saling pengertian (mutual understanding),
dan saling menghargai (mutual respect). Semoga! Edi Sugianto
0 comments:
Post a Comment