Bulan Januari, Jakarta diguyur
hujan. Langit tampak kelabu akibat mendung tiap hari. Di kamar Devina tampak
muram menatap langit di luar jendela. Beberapa kali lidah petir menyambar udara
dan suara guruh yang berdentam tak membuyarkan lamunannya. Pikirannya
menerawang tentang peristiwa di sekolah pagi tadi. Geng Andini dan pengikutnya memojokkan dirinya dengan kata-kata
yang sangat menyakitkan. Sedih, bingung, dan membuat dirinya resah. Di sudut
hatinya ada rasa takut dengan kata-kata Andini. Ia tetap tak habis pikir apa
sebabnya geng Andini begitu
membencinya. Apa salah dirinya pada mereka? Lamunannya terhenti ketika Si Bibik
pembantunya berkali-kali mengetuk pintu kamarnya yang terletak di lantai dua
tersebut. “ Neng Vina, dipanggil Mamanya. Buka pintunya, Neng.”
Pagi yang muram digelantungi
mendung, Devina diantar papanya menuju ke sekolah. Di sinilah malapetaka itu
dimulai. Tak ada yang mengira kalau geng
Andini menunggu Devina di pojok koridor tangga. Ibarat singa lapar yang
langsung menyergap mangsanya, Devina langsung disudutkan. Tanpa memberi
kesempatan sedikit pun bertanya dan menarik napas, Devina diserang dengan
kata-kata kasar dan menyakitkan. Ia hanya terpaku, diam dan mulutnya terkunci
rapat.Kelu.
“Eh, elo anak Sidoarjo, lo di sini
jangan sok cantik, ya! Tiba-tiba Andini dan geng-nya
mencegat langkahnya di koridor lantai tiga sekolah. Beberapa siswa putri yang
mendengar ucapan Andini cepat-cepat
menjauh, takut bersinggungan dengan kelompok Andini, bikin repot dan susah
hidup kata mereka. Belum sempat Devina menjawab karena shock mendengar ucapan itu,
Andini kembali membombardir dengan ucapan yang membuat nyalinya jadi ciut.
“Lo, pikir ,lo paling cantik, ya di
sekolah ini, hah? Anak kampung aja, pake belagu lagi.Betul,nggak teman-teman?” Udah, balik aja lo ke kampung, dasar ndeso,huh...!
“Yo’i,
tul...! teriak teman-teman geng Andini yang bikin takut anak-anak putri yang
lain di sekolah Muhammadiyah 31. Geng
Andini sangat dihindari oleh anak putri.
Mereka tak ingin cari masalah dengan kelompok itu. Urusannya bisa panjang dan
bikin nyali jadi menciut.Ayah dan ibunya menurut informasi super sibuk dengan
kariernya. Andini berangkat dan pulang pakai mobil dan sopir pribadi sendiri
yang disiapkan orang tuanya. Luar biasa!
“Awas, lo ya, berani lapor ke Wali
Kelas, gue abisin, lo! gertak Andini sambil ngeloyor
pergi bersama geng-nya menuju ke tangga lantai dua.Suasana sekolah mulai agak
ramai. Seorang ibu guru melintas di hadapan Devina, tampak sedikit bingung
melihat Devina diam di pojok tembok koridor seperti manekin toko busana.
Pelan-pelan Devina berjalan menuju
kelas. Pikirannya benar-benar kacau karena perasaannya sangat tertekan, apalagi
mendengar ancaman yang diucapkan Andini, membuat semangatnya terbang seolah-olah
badannya ikut melayang dan jatuh
membentur karang dan hancur. Lidahnya merasa kelu untuk menjawab kata-kata
Andini. Situasi yang tak pernah ia
bayangkan ketika geng Andini memojokkannya di sudut tembok koridor
dan dikerubuti seperti belalang mati yang disergap beberapa semut
rang-rang.Tanpa sadar ia hanya bisa menatap wajah Andini, pucat, seolah-olah
jalan darahnya berhenti dan jantungnya terbang entah ke mana. Sesampainya di
tempat duduk, Devina menelungkupkan wajahnya di meja. Ia ingin menangis dan berteriak
dengan kata tanya. “Apa salahku, ya Allah? Mereka seenaknya berkata kasar dan
sangat menyakitkan. Aku tidak pernah merasa cantik, apalagi paling cantik, ya
Allah. Tapi, mereka begitu membenciku.”
Beberapa tetes air mata akhirnya keluar juga dari matanya yang indah.Ia
menangis tanpa suara. Pagi ini, ia benar-benar terasa sangat kelabu. Entah
mimpi apa semalam, ia mendapat semprotan lahar panas Andini yang sangat
mengusik nuraninya. Untunglah Resty teman barunya yang cepat akrab,
menghiburnya untuk tetap tenang dan sedapat mungkin menjaga jarak dengan geng Andini.
Sebenarnya ia berharap, papanya
tetap bertugas di Sidoarjo, meskipun kota kecil tak sebesar dan sehebat
Jakarta, ia merasa senang dan ceria di kampung halaman orang tuanya itu. Teman
sejak kecil dan sepermainan banyak. Famili papa dan mamanya selalu memanjakan
dirinya. Mereka senang sekali jika dikunjungi oleh dirinya. Tapi papanya
mendapat tugas yang lebih tinggi dari
instansinya dan harus bertugas di Ibu Kota Jakarta. Prestasi kerja papanya kata
mamanya terus meningkat dan terpaksa harus pindah ke Jakarta. Sang papa harus
menjabat orang nomor satu di keimigrasian. Sebelum pindah ke Jakarta, papanya
selama setahun menjabat orang nomor satu di kantor Imigrasi Kota Surabaya.
Seminggu sekali masih bisa pulang ke Sidoarjo. Tapi, di Jakarta, takkan mungkin
bisa pulang seminggu sekali ke Sidoarjo. Itu sebabnya keluarganya boyongan pindah ke Jakarta.Wajah manis
dan cantiknya, di Jakarta, justru malah membuat masalah. Semua tentu di luar
dugaannya.
Tiga hari setelah peristiwa
itu,setelah pelajaran jam keempat selesai, Pak Heri wali kelasnya memanggilnya
ke ruang BP. Devina agak bingung karena wajah Pak Heri tampak serius. Setelah
disuruh duduk, Pak Heri tampak membuka catatan, lalu menatap agak lama
catatannya.
“Kamu berasal dari Sidoarjo, ya?
Tanya Pak Heri tiba-tiba.
“Ya,Pak.” Jawabnya pendek sambil
menebak-nebak kemana sebenarnya arah pertanyaan Pak Heri.
“Ayah dan ibumu asli dari sana?”
selidik Pak Heri menatap wajahnya sambil memperhatikan air mukanya.
“Betul Pak, Mama dan Papa saya asli
dari Sidoarjo. Saya sekolah ke Jakarta karena Papa saya ditugaskan oleh
instansinya menjadi Kepala Imigrasi di Jakarta ini,Pak.” Jawabnya mantap dan
lancar. Pak Heri tampak serius dan menatap wajahnya. Pak Heri mendapat kesan
yang kuat anak ini cerdas,cantik dan tutur katanya rapi. Pantas, batin beliau
berkata, anak laki-laki banyak yang tertarik dengan makhluk cantik yang duduk
di depannya ini.
“Sebenarnya, ada apa, ya pak saya
dipanggil?” tanya Devina memberanikan diri bertanya pada Pak Heri. Ia merasa
tidak pernah melakukan pelanggaran apa pun di sekolah ini. Apalagi, ia baru
sebulan di sekolah ini. Ia hanya tersenyum saja ketika banyak anak laki-laki
yang suka mendekati dirinya dan ingin berkenalan . Tentu saja sebagai siswa
yang baik ia tak mungkin menolaknya, apalagi kalau pakai alasan untuk
silaturrahim segala. Ah, ada-ada saja alasannya. Batinnya sambil tersenyum geli
sendiri.
“Begini, Devina. Nama lengkap kamu
Devina Andriyani Pratiwi, ya?”
“Iya, Pak, kan maunya orang tua saya
memberi nama itu,Pak.”
“Jadi, nama tersebut sebetulnya kamu
tidak menyukainya?” selidik Pak Heri sambil tersenyum
“Ya, sukalah, Pak. Berdosa saya
kalau nama yang baik itu saya protes apalagi sampai saya ganti. Tentu Mama Papa
saya akan sedih dan repot, sebab, Akte Lahir saya ya, harus diganti. Sebagai
anak yang baik saya yakin nama itu indah dan maknanya baik.” Jawab Devina
meyakinkan Pak Heri. Pak Heri mengangguk-angguk dan tersenyum. Hatinya berkata,
anak ini memang cerdas sama seperti Andini. Tapi, sayangnya Andini yang ayahnya
seorang direktur perusahaan besar terkenal itu, punya sifat kebalikan dari
Devina, tutur katanya terkesan tinggi hati dan melecehkan orang lain meskipun
kecantikan wajahnya juga tak kalah dengan muridnya yang satu ini.Devina sopan
dan murah senyum dan Andini tata krama bicaranya berantakan dan gampang bicara
kasar.
“Begini, Devina, kemarin papa kamu
menemui Pak Guru,mengatakan ingin memindahkan sekolah kamu, karena katanya kamu
merasa sangat tertekan dari ulah teman sekelas kamu juga yaitu Andini. Apa
betul kamu mengalami hal buruk dengan dia?”, tanya Pak Heri lebih serius
menunggu jawabannya. Andini tampak diam dan menatap kosong ke wajah wali
kelasnya. Suasana hatinya galau serasa hidupnya kehilangan semangat dan terbang
entah ke mana.Setelah agak tenang, barulah ia menjawab pertanyaan wali
kelasnya.
“Pak, saya sebenarnya tak pernah
ingin pindah dari sekolah ini. Tapi Papa saya setelah mendengar cerita dari
mama bahwa saya diperlakukan oleh Andini sedemikian rupa, yang saya sendiri nggak ngerti apa sebabnya Andini menuduh
saya seperti itu. Apalagi pakai mengancam segala, saya lebih baik mengalah
walaupun hati saya sedih, sakit,dan terluka sekali, Pak.” ,jawab Devina
dengan perasaannya yang tertekan
sekali.Pak Heri terdiam dan menarik nafasnya dan tampak agak berpikir keras.
Pengakuan Devina terhadap perilaku Andini ternyata benar seperti pengakuan
teman-teman putri yang dekat dengan Devina meskipun mereka sesungguhnya sangat
takut dengan Andini dan gengnya. Ini
sudah keterlaluan pikir Pak Heri, harus segera diambil tindakan dan diakhiri.
Guru BK Bu Diah dan Pak Hazirwan selaku guru bidang kesiswaan harus dilibatkan
dalam penyelesaian ini, dan Pak Heri berharap papa Devina bisa melunak untuk
tidak memindahkan anaknya. Malu juga dirinya sebagai wali kelas bila tak mampu
menyelesaikan persoalan ini. Andini, murid yang satu ini memang selalu
merepotkan. Selalu bikin ulah.
“Kemarin, juga Andini dan
teman-temannya sudah mengakui perbuatan mereka terhadap dirimu, meskipun kesan
Bapak, mereka menganggap bahwa kamu sombong dan sok cantik. Mereka mungkin iri
karena salah paham dengan sikapmu yang ramah kepada semua orang dan disenangi
banyak anak laki-laki.Bisa saja dia merasa tersaingi oleh sikapmu, kalah pamor
dengan kamu.Pak Guru merasa ini hanya kesalapahaman saja, tentunya harus
diperbaiki. Kamu, maukan berdamai dan berbaikan dengan Andini meskipun sangat
kecewa sekali diperlakukan seperti itu?”, tanya Pak Heri berharap agar Devina
mau menerima solusi yang diinginkannya.Devina menarik napas lega, Pak Heri
rupanya bisa menjinakkan Andini. Ia merasa Pak Heri mendukungnya untuk tetap
bersekolah di SMP Muhammadiyah 31. Ada suasana kekeluargaan yang ia rasakan
dibangun di sekolah ini. Kalau persoalan ini selesai, ia akan membujuk papanya
agar tidak jadi memindahkan dirinya, meskipun bagi papanya orang yang menjadi
pejabat negara, bisa dengan mudah memindahkan sekolahnya ke mana saja yang ia
inginkan.
Baginya sudah lebih dari cukup,
sikap Pak Heri yang bijaksana mencarikan solusi agar kesalahpahaman yang
terjadi karena ulah Andini bisa diselesaikan, ini membuatnya merasa lega. Ia
ingin Andini menjadi temannya yang baik.Tirulah ulama besar kita yang bernama
Buya Hamka, kata Pak Heri. Meskipun lima tahun dipenjarakan Bung Karno Presiden
RI kita yang pertama, tanpa pernah dinyatakan salah dan diadili apa
kesalahannya, Buya Hamka tak pernah dendam. Ia doakan Bung Karno ketika beliau
sakit keras dan menjenguknya. Lalu, Buya Hamka menjadi imam shalat jenazah
ketika Bung Karno meninggal.Ia merasa itu luar biasa sekali. Apakah ia bisa
mencontoh cerita Pak Heri? Kata Ebiet G Ade tanyalah pada rumput yang
bergoyang.
Sejak Pak Heri memanggilnya, ia
merasa intensitas serangan Andini menurun drastis. Tapi sindiran dan kata-kata
mengejek seperti kata-kata “anak mami” dan ndeso
tetap dilontarkan Andini. Celakanya mereka sekelas, tentu serangan
kata-kata oleh Andini terhadap dirinya tak pernah berhenti. Untunglah wali
kelasnya Pak Heri memahami hal itu. Tanpa ia ketahui, Pak Heri memanggil Andini
dan mengajaknya bicara. Sejak dipanggil Pak Heri, Andini tak lagi melakukan “
serangan.” Tapi, sikap sinis dan bencinya tetap terlontar dari tatapan matanya,
bak harimau melihat calon korbannya. Sedikit banyak, tentu ia bersyukur
meskipun tak satu pun teman putrinya yang berani terang-terangan membelanya.
Mereka takut mendapat serangan balik yang amat menyakitkan dari geng Andini.
Hari perdamaian yang bersejarah itu
akhirnya tiba. Di ruang BK Andini dan
geng-nya hadir lengkap. Tampak Bu Diah,
guru BK, Pak Heri,dan Pak Hazirwan selaku guru kesiswaan di SMP Muhammadiyah
31turut hadir di ruangan itu.Devina diminta oleh Pak Hazirwan duduk berdekatan
dengan Andini. Andini tampak canggung dan sering membuang muka dari hadapannya.
Duduknya tampak tidak tenang. Untuk membuat situasi tidak tegang, Pak Hazirwan
mengelurkan candanya ke kelompok Andini dan Devina. Bu Diah dan Pak Heri tampak
tersenyum-senyum mendengar humor Pak Hazirwan. Suasana jadi cair.Andini mulai
tampak tersenyum.
Pak Heri diminta Bu Diah dan Pak
Hazirwan membuka pertemuan. Setelah beliau membuka dan memberi salam,Andini dan
geng-nya ditanya oleh Pak Heri apakah
mereka hari ini sehat. Semuanya mengangguk. Setelah giliran Devina ditanya,
apakah hari ia merasa sehat. Dengan dua kata ia mengucapkan kata “Ahamdulillah
sehat.” Di sini terlihat, Devina jauh lebih dewasa dibandingkan Andini yang
hanya mengangguk.Bu Diah spontan mengucapkan “amin.” Secara singkat Pak Heri
menjelaskan apa maksud pertemuan ini.Semua yang hadir harus jujur dan hati
bersih dari kebencian, dan rasa dendam.
“Setelah ini, gak ada lagi geng-gengan.Tidak dibenarkan di sekolah
kita kelompok semacam itu. Kita semua bersaudara.” , tambah Pak Hazirwan
mengingatkan kepada Andini dan kelompoknya.
“Dan juga, tidak ada buli-membuli
teman, apapun alasannya!’, tegas Bu Diah
dengan serius. “Membuli itu perbuatan setan, buruk dan dosa.” , imbuhnya lebih
lanjut. “Kalian semua, termasuk Ibu, Pak Heri, dan Pak Hazirwan adalah manusia
biasa, pasti punya kelemahan dan kelebihan.Mintalah maaf kalau melakukan
kesalahan. Sebaliknya, siap memberi maaf jika orang telah mengakui
kesalahannya.” , kali ini ucapan Bu Diah tampaknya sedang semangat mengeluarkan
kalimat panjang.
Devina merasa di atas angin, hatinya
merasa sejuk dan plong.Ia paham
ketiga gurunya berada di pihaknya. Tapi ia tidak merasa bangga melainkan hanya
bersyukur. Jauh di lubuk hatinya ia ingin bersahabat, kalau mungkin, dengan
Andini. Kalau Andini tak bersedia jadi sahabat, minimal berteman dengan cara
yang baik.Kelompok Andini yang lain tidaklah terlalu sulit untuk diluruskan ke
jalan yang benar.Mereka hanya ikut-ikutan.Pak Heri meminta mereka saling
bermaafan setelah mereka menerima nasihat guru-gurunya.
“Maapin, gue ya.” Cetus Andini
dengan agak kaku tanpa mau mengucapkan nama Devina.
“Ya, Andini, saya juga minta maaf,
kalau selama ini sikap saya juga tidak menyenangkan.”, jawab Devina tersenyum
dan mengulurkan tangan. Tanpa ragu-ragu Devina memeluk Andini yang terlihat kaget
dan kikuk.Melihat adegan itu, spontan Bu Diah,dan Pak Hazirwan bertepuk tangan
berkali-kali. Andini akhirnya membalas pelukan Devina. Matanya digenangi titik
air mata yang akhirnya luruh ke pipi. Si keras kepala ini akhirnya lunak juga.
Ia terharu akan kebaikan Devina. Satu per satu teman-teman Andini memeluk
Devina. Di luar jendela guru BK, langit mulai cerah setelah semalaman diguyur
hujan. Devina melihat ada hari baru yang indah di sekolah ini.Ia ingin
merayakan hari bersejarah ini dengan sekedar mengirim makanan kecil untuk
guru-gurunya yang tulus dan ikhlas mendidik mereka. Segera ia telepon papanya
yang mungkin masih resah akan nasib
dirinya.Ia berbisik dalam hatinya,”Papa, hari ini langit cerah kembali.
Mudah-mudahan Papa bisa pulang sebelum mendung datang kembali.” (Herifial Sikumbang)
0 comments:
Post a Comment