"Peran
kaum guru dalam perubahan, seperti keberadaan nabi-nabi tanpa
senjata." – Niccolo Machiavelli, Filosof Italia,
1456-1527.
SAAT ini
masyarakat semakin memberhalakan harta dan jabatan, hidup dengan
kepentingan-kepentingan individual tanpa peduli sesama. Kekerasan berlabel SARA sudah tak terhitung jumlahnya. Lalu apa
solusinya? Menurut para filosof, "pendidikanlah" senjata paling ampuh
untuk menepis serangan radikalisme, hedonisme, dan eksklusivisme semacam itu.
Pendidikan
sebagai sarana humanisasi diharapakan mampu melahirkan wakil-wakil (khalifah)
Tuhan untuk mengatur alam semesta dan peradabannya. Tentu peradaban yang selalu
memihak pada kebenaran, keadilan, melawan kebatilan, kesenjangan, kebodohan,
dan keserakahan (korupsi), serta menghapus hukum rimba, seperti yang dikatakan
Thomas Hobbes (1588- 1679), manusia adalah pemangsa manusia lainnya, "homo
homini lupus". Kemudian diganti dengan "homo homini
socius", manusia adalah adalah sahabat bagi sesama.
Kehadiran kaum
guru, sejatinya seperti diutusnya para pahlawan ke muka bumi. Sebagai
penyelamat dari belenggu yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan di
atas. Lalu, apa saja tugas guru dalam menyelamatkan (salvation) manusia
dari kehancuran dan kebinasaan?
Peran Strategis
Pertama, guru
yang baik akan selalu menjadi pelita (rahmat) bagi alam semesta. "Dan
tidaklah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta
alam." (QS 21:107).
Rahmat artinya
kelembutan yang berpadu dengan rasa iba. Atau dengan kata lain rahmat dapat
diartikan dengan kasih sayang. Jadi, guru harus mendidik murid-muridnya dengan
kasih sayang. Sebagaimana Tuhan mengutus para nabi kepada seluruh manusia
sebagai bentuk kasih sayang-Nya yang terbesar.
Pendidikan
harus dilakukan dengan proses lemah lembut dan kasih sayang. Ketika murid telah
mencintai gurunya, maka proses komunikasi akan berjalan dengan baik dan
harmonis. Apabila kenyamanan berkomunikasi sudah terjalin, maka transmisi
pengetahuan dan nilai serta internalisasi karakter pun mudah melekat pada jiwa
anak.
Mendidik anak
dengan cinta tidaklah mudah. Diperlukan kesabaran dan ketelatenan yang tinggi.
Namun, bukan berarti dengan kesulitan itu lantas guru seenaknya saja.
Diperlukan strategi khusus untuk melakukan itu. Misalnya, dengan melihat
kemampuan dan potensi siswanya dengan baik, fleksibel, dan tidak terlalu
protektif kepada anak. Pun pembelajaran yang dilakukan harus rileks dan
menyenangkan (joyful study).
E Handayani
Tyas (2013) mengatakan, guru diharapkan dapat menjadi pendidik yang memenuhi
tiga kunci, yakni dasar pendidikannya adalah kasih sayang, syarat teknisnya
adalah saling percaya, dan syarat mutlaknya adalah kewibawaan.
Pendidikan
yang dilakukan dengan kasih sayang akan melahirkan pengasih-pengasih
selanjutnya, generasi yang peka dengan keadaan sosial, demokratis, inklusif,
toleran, penuh persaudaraan dan perdamaian. Bukan generasi angkuh, egois, dan
radikal.
Kedua, guru
memberikan petunjuk ke jalan yang benar. "Sesungguhnya Kami mengutus kamu
dengan membawa kebenaran sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi
peringatan. Dan tidak ada suatu umat pun melainkan telah ada padanya seorang
pemberi peringatan." (QS 35:24).
Salah satu
tugas guru adalah sebagai mursyid, yakni pembimbing ke arah kebaikan, penuntun
ke jalan hidup yang benar. Syarat untuk menjadi guru yang mursyid adalah harus
memiliki wawasan luas tentang berbagai disiplin ilmu, memiliki kejernihan hati,
sikap kesederhanaan dan ikhlas.
Mursyid dalam
ilmu tasawuf biasanya disematkan kepada guru sufi, yaitu orang yang ahli
memberi petunjuk dalam bidang kebatinan. Para mursyid dianggap golongan pewaris
para nabi dalam bidang penyucian jiwa (tazkiyah an-nafs).
Dengan peran
mursyidnya, guru diharapkan mampu mencetak manusia yang memiliki hati, sifat,
ucapan, dan perilaku yang bersih dan suci. Bersih dari kedengkian, ketamakan
harta, pemujaan jabatan, dan korupsi.
Ketiga, guru
memberi peringatan kepada murid-murid dan masyarakat. "Dan tidaklah Kami
mengutus para rasul itu melainkan untuk memberi kabar gembira dan memberi
peringatan. Barang siapa yang beriman dan mengadakan perbaikan, maka tak ada
kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati." (QS
6:48)
Guru adalah
kaum intelektual yang membantu murid-muridnya untuk mencapai tujuan pendidikan
dan kebenaran sejati. Namun perlu diingat, guru juga manusia biasa, bukan
malaikat. Seperti nabi yang hanya sebagai penyampai pesan dan pemberi
peringatan bagi kaumnya.
Proses
belajar-mengajar harus dilakukan tanpa unsur paksaan. Memaksakan kehendak anak
didik dalam belajar tak akan memberi bekas sedikit pun bagi perkembangannya.
Seperti dakwah para nabi kepada umatnya yang dilakukan dengan pendekatan
persuasif tanpa paksaan, apalagi kekerasan. Dakwah pada hakikatnya meyakinkan
manusia agar selalu berjalan dalam koridor kebenaran. Dakwah bukan mencerca,
mengejek, mengancam, atau bahkan meneror.
Keempat, guru
menjadi teladan yang baik. "Sesungguhnya aku diutus semata-mata untuk
menyempurnakan akhlak." (HR Ahmad). Salah satu faktor penting keberhasilan
para Nabi dalam mendidik dan membimbing umatnya, sebelum berdakwah mereka telah
menjadi living model (teladan). Mereka adalah orang-orang pertama yang
melaksanakan perintah Tuhan dan menjauhi larangan-Nya. Dengan itu umat pun
mudah mengamalkan dan meniru ajarannya.
Sesuatu yang
akan membingungkan murid bila ucapan guru dan perilakunya berbeda. Murid-murid
tak tahu siapa yang harus dicontoh, dan apa arti dari keluhuran budi dan
kemuliaan akhlak. (Syafi’i Antonio, 2009: 195).
Akhir kata,
guru sebagai pahlawan dan pewaris para Nabi memiliki peran besar dalam
pencerdasan, pencerahan, dan penyelamat bangsa dari keterpurukan moral manusia yang gila harta, pemuja
jabatan, wanita, dan korupsi. Wallahu A’lam Bishawab! -Edi
Sugianto-
0 comments:
Post a Comment