Di sebuah Desa terpencil, hiduplah
seorang ayah bersama anaknya, mereka berdua tinggal di gubuk kecil, beralaskan
kardus dan koran-koran bekas.
Suatu ketika, sang ayah bersama
anaknya hendak membeli seikat ubi di pasar. “Pak…, saya mau membeli ubi, tapi
uang saya sepertinya tidak cukup”, ujar sang ayah kepada pencual ubi. Kemudian
si penjual ubi pun bertanya, “Anda punyak uang berapa?”, bapak dari anak kecil
itu pun menjawab dengan rasa malu dan sedih, “Hanya ada 10.000 Pak, apa saya
bisa membelinya?”, penjual ubi pun menjawab dengan lirih, “Bisa Pak…tapi hanya
dapat 4 buah (ubi) saja”. Dengan sedih mereka berdua menerima ubi tersebut.
Setelah dari pasar, mereka tidak
langsung pulang ke rumah (gubuk), namun terlebih dahulu mampir ke kebun tempat
mengais rejekinya, yaitu mengumpulkan getah karet. Sesampainya di kebun sang
ayah langsung bekerja dengan giat mengumpukan getah karet sebanyak mungkin. Si
anak melihat ayahnya dengan rasa sedih, tanpa basa-basi si anak membantu
ayahnya, dan bertanya, “Apakah Ayah tidak lelah mengerjakan ini?”, ayahnya pun
menjawab, “Tidak Nak…Ayah mengerjakan ini dengan ikhlas, demi kelangsungan
hidup kita”, anak itu itu pun bertanya lagi, “Kenapa Ayah tidak memilih
pekerjaan yang lain?”, ayahnya terdiam sejenak, kemudian mengelus kepala
anaknya, dan berkata, “Apapun pekerjaan Ayah, asalkan halal, dan dicintai Allah
itu lebih penting anakku…”, anak itu pun
tersenyum.
Matahari kian meninggi, dan
menyengat kulit, sedangkan perut pun semakin lapar, sang ayah segera mengajak
anaknya pulang. Mereka berdua melewati beberapa rumah dan sekolah. Si anak
melihat teman-teman sebayanya asyik bermain di lapangan sekolah. Anak itu bertanya-tanya
dalam hatinya, “Apakah aku bisa sekolah seperti mereka?”, si ayah hanya bisa
merasakan kesedihan anaknya itu.
Setelah sampai di gubuk tua, si
anak mengambilkan minum untuk ayah tercinta, sembari memijatinya. Kemudian anak
itu bertanya, “Ayah ubi ini mau dibuat apa?”, ayahnya menjawab, “Tentu untuk
kita masak dan kita makan bersama Nak..”, si anak kembali berkata,
“Ya...sudahlah Ayah…biar aku yang memasak ubi ini, Ayah istirahat saja”, tanpa
banyak kata si ayah pun masuk dan beristirahat.
Kemudian anak yang baik itu, pergi
ke dapur sederhanya untuk memasak ubi itu. Beberapa jam kemudian, ubi pun sudah
matang dan empuk, serta siap dimakan. Anak itu kemudian mengangkat ubi-ubi
tersebut dari panci ke pising. Sebelum si anak mencicipi satu pun ubi, tiba-tiba
terdengar suara salam dari luar rumah. “Assalamu’alaikum…?”
si anak itu kemudian bergegas keluar dan menjawabnya, “Wa’alaikumussalam”. Ternyata seorang nenek tua yang terlihat
lemas. Nenek itu pun berkata, “Nak...nenek belum makan dari pagi, apakah
keluargamu punyak makanan”? tanya si nenek tua itu. Lalu tanpa banyak mikir si
anak baik itu memberikan empat buah ubi yang sudah siap dimakan tersebut, dan
berkata. “Ini Nek…kami hanya punyak ubi”. Nenek pun dengan senang menerimanya,
“Terimakasih Nak…”, ucap si nenek. “Sama-sama Nek…hati-hati…” si anak menjawab,
dan nenek tua itu pun pergi.
Setelah beberapa menit, ayahnya pun
terbangun, mungkin perutnya sudah sangat lapar karena dari pagi belum terisi
apa pun. Si anak baru merasa bahwa hanya ubi itulah makanan satu-satunya yang
mungkin bisa dimakan hari itu. Anak itu mendekati sang ayah, lalu berkata,
“Ayah…maaf, ubi-ubi yang saya masak sudah habis, tadi aku berikan kepada nenek
tua yang kelaparan”, anak itu merasa
bersalah, dan sedikit takut dimarahi ayahnya yang baru bangun tidur.
Namun sang ayah yang mulia itu
hanya tersenyum, dan berkata, “Baguslah Nak…kalau kamu ikhlas nanti Allah akan
memberikan yang lebih dari itu”, anak itu pun senang sebab ayahnya tak
memarahinya.
Kemudian sang ayah berkata, “Wahai
Anakku dengarkanlah firman Allah berikut ini”: “Katakanlah (Muhammad).
‘Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang telah menerima
wahyu, bahwa sesungguhnya Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa.’ Maka barang
siapa yang ingin berjumpa dengan Tuhannya, maka hendaklah dia mengerjakan kebajikan, dan janganlah
dia menyekutukan dengan sesuatu pun dalam beribadah kepada Tuhannya”. (Al Kahf,
18: 110).
Sang anak pun berkata, “Ayah…semoga
kita bisa berjumpa dengan Allah, Rasulullah-Nya di Jannatun Na’im nanti”, amin…keduanya berdoa. (Bunga Zhafirah, dan Laksmina MR)
0 comments:
Post a Comment