Guru “Gokil” Inspirasi Murid “Unyu”
Judul : Guru Gokil, Murid Unyu
Penulis : J. Sumardianta
Penerbit : PT Bentang Pustaka
Tahun : 2013
Tebal : 303 halaman
ISBN : 978-602-7888-13-5
Saat ini guru bukan lagi sosok yang dihormati,
melainkan ditakuti. Maklum saja, guru lebih suka mendidik siswanya, seperti
mengisi ember kosong dengan batu besar. Terkadang juga dengan air keruh yang
membahayakan jiwa. Kini, anak-anak enggan diarahkan, lebih-lebih untuk belajar.
Mereka lebih senang mendidik diri sendiri di warnet-warnet dan rental game playstation di gang-gang sempit.
Benarlah apa yang dikatakan
William Butler Yeats (Penyair Irlandia:1865-1939), dalam karya fenomenalnya “The Tower”. Bahwa pendidikan bukan
pengisian ember, melainkan “menyalakan api”.
Guru yang hebat, menginspirasi murid. Ia sadar sepenuhnya punyak satu mulut
dan dua telinga. Itu sebabnya, guru tipe ini berusaha menjadi pendengar yang
baik dan tidak obral bualan di kelas sepanjang waktu (hlm 5).
Dengan menjadi inspirator dan pendengar yang baik bagi siswa-siswa, guru
akan mampu membakar semangat belajar, dan menjelaskan perkara rumit dengan cara
sederhana. Dengan demikian ia akan menjadi sosok yang selalu dicintai dan
dirindukan para siswanya.
Buku“Guru
Gokil Murid Unyu” ini, dirangkai oleh J. Sumardianta, yang sudah kenyang dengan
asam garam mengajar dan mendidik. Ia sudah 20 tahun menjadi guru, di SMA Kolese
John De Britto, Yogyakarta. Bahan Baku buku ini tak lain adalah apa-apa saja
yang ia lihat, rasakan, dan alami sepanjang menjalani profesi guru.
Menurutnya, guru
harus berjiwa pengemudi tangguh dan bermental pemenang (winner). Bukan survivors. Karena
saat ini, kebanyakan guru sekadar hidup, bahkan menumpang hidup, dan bekerja
tanpa peduli dengan prestasi diri, dan anak didik (hlm 19).
Memang, menjadi guru bermental “juara” tidaklah mudah.
Harus punyak keberanian melawan ketakutan, kenyamanan, dan hedonisme. Guru akan
memiliki harga diri, bila ia mampu mengahargai potensi siswa-siswanya yang
vareatif.
Guru sebagai living
model, perilakunya selalu dilihat dan ditiru murid-murid. Itu sebabnya ia
harus memiliki karakter dan kebiasaan luhur. “Murid akan lupa bila hanya
mendengar ceramah guru. Murid akan mengingat apa yang diperlihatkan gurunya.
Murid akan mengalami bila melakukan. Murid akan menguasai bila menemukannya
sendiri.” (hlm 21).
Sekolah yang baik, akan membiasakan para siswanya dengan
kerja-kerja sosial, di tempat pembuangan sampah akhir (TPA), perkampungan
kumuh, sanggar pemberdayaan kaum marjinal, panti jompo, dan panti penyandang
autis. Murid-murid diuji dengan ujian hidup sesungguhnya, bukan ujian di atas
kertas kosong. Bukankah kehidupan itu memang sekolah yang paling sulit? Para
murid tak akan pernah tahu, apakah masih mampu mengatasi ujian selanjutnya (hlm
26).
Guru adalah pendaki (climber), yang
siap mengasah dan membekali murid-murid dengan kecakapan sosial, seperti
berkomunikasi, memahami sesama, dan bekerja sama. Mendorong murid berpikir
kreatif; menciptakan banyak ide, fleksibilitas, serta kemampuan beradaptasi
dengan berbagai lingkungan yang berbeda
(hlm 31).
Guru “gokil” itu guru hebat (greatb
teacher), yang mampu menginspirasi murid-murid menjadi “unyu” (cerdas).
Generasi yang tak hanya galau melulu, tapi bisa mengatasi persoalan di tengah
masyarakat yang “mabuk internet”, lingkungan yang tak sehat, dan tayangan televisi
yang menghipnotis.
Buku ini wajib dibaca semua guru. Apabila mereka ingin kembali pada peran utamannya,
menjadi “guru gokil” yang perannya ‘pengusir kegelapan’ sosial, sebagaimana
makna gu berarti kegelapan dan ru berari menghilangkan.
*) Diresensi Oleh; Edi
Sugianto, Penulis Buku “Menyalakan Api Pendidikan Karakter”.
0 comments:
Post a Comment